Jumat, 20 Juni 2014

Seribu Semesta Arlet. Part 6

Bagian. 6
Honestly, I Love You…

Minggu, sehari setelah pernikahan Ilal,…
            “Arlet sudahlah berhenti menangis, ka terus menangis dari sebelum kita sampai di Surabaya, sudahlah Arlet, kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia”, Edis menenangkan Arlet yang masih menangis, “Bisakah kau hanya diam saja,” rengek Arlet, “Bagaimana bisa aku diam melihat sahabatku menangis seperti ini?” bentak Edis, Arlet terdiam menghapus air matanya dengan tisu yang diberikan Edis. “Empat tahun aku menjalin hubungan dengan Ilal, tapi mengapa Tuhan tidak memilih ku sebagai pendamping hidup Ilal,  mengapa harus orang lain”, Arlet menatap Edis, “Tuhan selalu tau apa yang terbaik untuk umatnya Arlet, seberapa lama kau menjalin hubungan tidak bisa menentukan kau akan menikah dengan kekasihmu atau tidak, Tuhan lebih tau siapa yang lebih cocok denganmu,” Edis menggenggam tangan Arlet, “Percayalah Arlet, kau wanita yang baik, cantik, pintar, dan juga menyenangkan, walau memang kau terkadang bersikap begitu dingin terhadap beberapa lelaki, aku yakin, kau akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Ilal, percayalah” imbuh Edis, “Terimakasih, kau memang sahabat terbaikku”, Arlet tersenyum…
Senin, 08.00…
Arlet sedang bersiap-siap berangkat ke Semarang saat pintu rumahnya diketuk seseorang, “Permisi”, teriak seorang laki-laki dari luar, “Iya, sebentar”, jawab Arlet, Arlet membukakan pintu, wajah yang sepertinya ia kenal muncul dari balik pintu kediaman orang tuanya, “Bani”, Arlet terkejut, “Pagi, Arlet, apakah aku mengganggu?” Bani tersenyum, menggaru-garuk kepalanya, “Untuk apa kau kesini, kau tidak ada tugas jaga?” tanya Arlet, “Ada, tapi nanti jam dua siang, bolehkah aku masuk?” Bani meilhat kedalam ruang tamu, “Tidak, kau tidak boleh masuk, dirumah tidak ada orang, hanya ada aku, Ibu sedang mengantar Refi sekolah,” tolak Arlet, “Baiklah kalau begitu, aku duduk disini saja”, Bani langsung duduk dikursi teras kediaman orangtua Arlet yang terbuat dari bambu, “Sebentar aku ambilkan minum,” kata Arlet, Baru kali ini ia melihat Bani tidak megenakan seragam perawatnya, kali ini Bani, mengenakan celana jeans pendek selutut berwarna hitam, jersey Manchester United, dan juga kacamata hitam, ia terlihat begitu santai, biasanya setiap kali Arlet bertemu dengan Bani, pasti Bani masih mengenakan seragam perawat. “Ini, diminum”, Arlet meletakkan Cappuccino hangat dimeja, “Wah-wah, kau bahkan telah hafal dengan kopi kesukaanku,” ledek Bani, “Hanya ada itu dirumah,” balas Arlet, “Kau mau kemana, cantik sekali”, tanya Bani, “Ke Semarang, aku harus menyelesaikan skripsiku,” Arlet melihat jam di tangan kirinya, “Berpenampilanlah seperti itu saat bertemu dengan ku, tidak bisakah?”, Bani menatap Arlet, Arlet mengenakan celana Denim skinny fit berwarna hitam, kemeja hitam bercorak bunga-bunga, blazer berwarna merah maroon, dan juga flat shoes sewarna dengan blazer yang dikenakan Arlet, “Memang, ada yang berbeda dari penampilan ku,?, tanya Arlet, “Hm, biasanya kau selalu memakai sneakers, memakai jaket denim, dan juga mengikat rambutmu, kau terlihat lebih cantik jika seperti ini, terlihat lebih feminim, dan,,, aku menyukai rambut mu yang kau urai itu,” Bani memuji Arlet, “Sebenarnya kau mau apa pagi-pagi bertamu?” Arlet tersenyum pahit kepada Bani, “Kau bahkan tidak mengucapkan terimakasih saat aku memuji mu,” Bani kesal, “Aku merindukanmu, makanya aku kemari,” imbuh Bani, “Kau bilang apa?, apa kau mau mati,” Arlet memukul pundak Bani lumayan keras, “Kau ini, bersikaplah sedikit lembut, apa tidak boleh aku merindukanmu”, kata Bani menahan sakit di pundaknya, “Sudahlah, pulang sana, aku harus pergi,” Arlet menarik tangan Bani, menyuruhnya untuk pulang, “Bolehkah aku mengantarmu”, Bani memegang tangan Arlet, “Tidak usah aku bisa berangkat sendiri, dan lepaskan tanganmu dari tangan ku”, Arlet menarik tangannya dari genggaman tangan Bani, “Tidak,” Bani memegang tangan Arlet lagi, “Kau tau Arlet, aku selalu berdo’a dan meminta kepada Tuhan agar kau bisa mencintaiku, biarkan aku mengantarmu ke Semarang,” tanya Bani, “Lepaskan dulu tanganku” pinta Arlet, “Baiklah, kulepaskan, tapi biarkan aku mengantarmu,” Bani melepaskan tangan Arlet, Arlet pergi meninggalkan Bani, “Aku mau kau mencintaiku Arlet”, terik Bani sambil tersenyum. Arlet keluar dari rumah membawa tas ransel hitamnya dan juga helm ia menutup pintu dan menguncinya, “Arlet, tidak usah bawa helm, aku akan mengantarmu menggunakan mobilku”, Bani mengambil helm Arlet dan menaruhnya dimeja,,, berjalan menuju mobil Honda Brio berwarna putih dengan menggandeng tangan Arlet, membukan pintu mobil, dan mempersilahkan Arlet masuk., “Mobil siapa ini?” tanya Arlet polos, “Ini mobil milik mbak Andien, tapi mbak Andien memberikan mobil ini untuk ku sebagai hadiah kelulusanku, dia mengirim ini langsung dari Pontianak,” jelas Bani, “Kukira kau mencurinya”, Arlet menaruh ranselnya dikursi belakang, “Apakah wajah ku terlihat seperti seorang pencuri Arlet, kalau iya, pasti aku pencuri paling tampan yang pernah kau temui” Bani memasangkan Shift Belt Arlet,,,
09.30…
Arlet sampai di tempat kosnya dengan Bani, “Arlet, kau tidak menyuruhku masuk dulu,” Bani keluar dari dalam mobil miliknya, “Aku lapar sekali,” imbuh Bani, “Kau belum sarapan?”, tanya Arlet, Bani hanya menggeleng sambil memegangi peruntnya, “Kau mau makan apa?” Arlet menatap Bani yang terlihat seperti anak kecil yang sangat lapar, “Buatkan aku, mie goreng, telur dadar dan juga nasi,” Bani tersenyum pada Arlet, “Kau ini, mengapa tidak beli saja di rumah makan Bani,” Arlet menahan suaranya, “Aku ingin kau yang membuatkannya, aku mohon, buatkan aku mie goring, ya?” rengek Bani, “Parkir mobilmu dengan benar dulu,” suruh Arlet, Bani menuruti perintah Arlet, “Tunggu disini, tamu laki-laki hanya boleh menunggu diteras,” Arlet meminta Bani duduk dan menunggu diteras, Bani hanya tersenyum dan segera duduk.
15 menit kemudian…
“Ini, makanlah,,,” Arlet menyerahkan piring kepada Bani yang berisi nasi, mie goreng, dan juga telur dadar, lalu meletakkan segelas air putih dimeja, “Terimakasih banyak cantik”, Bani langsung memakan sarapannya itu dengan lahap, “Apa kau menyukainya” tanya Arlet, “ Aku selalu sarapan seperti ini jika sedang dikontrakan,” Bani mengangguk, “Apa kau tidak pernah makan sayur?” Arlet memberikan segelas air putih pada Bani, Bani menggeleng, “Aku hanya menyukai sayur buatan Ibuku,” Bani mengambil gelas yang berisi air putih dari tangan Arlet, “Jadi kau tidak makan sayuran” Arlet heran, “Kalau dirumah Ian iya, sayur buatan Ibu Ian rasa nya sedikit mirip dengan buatan Ibuku dirumah,” jelas Bani, “Memang Ibumu dimana?” Arlet penasaran, “Ibu dan Ayah tinggal di Pontianak, aku disini sudah sejak kuliah,” jawab Bani, “Kau tidak kembali lagi ke Pontianak?, kenapa malah bekerja disini,” tanya Arlet lagi, “Kalau aku kembali lagi ke Pontianak, Ayah pasti menyuruhku meneruskan bisnisnya disana dan melarangku kembali ke sini,” Bani mengambil rokok dari saku celananya, “Hei.. apa yang kukatakan padamu soal merokok?” Arlet mengingatkan Bani, “Oh… maaf, itu sudah kebiasaan”, Bani menaruh rokoknya dimeja, “Jadi kau tidak pernah pulang lagi ke Pontianak?” Arlet mengikat rambutnya, “Jangan diikat,” Bani memegang tangan Arlet, dan melepaskan ikatan rambut Arlet, “Sebenarnya Ibu menyuruhku pulang, Ibu bilang Ayah sudah menyerah dengan ku dan tidak akan memaksa ku lagi, Ibu juga bilang bahwa bisnis Ayah sudah diambil alih oleh Mbak Andien,” imbuh Bani, “Lalu, apa kau tidak akan pulang?” Arlet menarik tangannya dari tangan Bani, “Nanti, setelah aku mendapatkanmu,” sahut Bani, “Apa maksudmu”, Arlet terkejut dengan ucapan Bani, “Tidak,,” Bani menggeleng, “Berapa lama di Semarang,” lanjut Bani, “Tiga minggu, kurasa” Arlet menjawab, “Bolehkah aku main kesini jika aku sedang libur,” tanya Bani, “Terserah kau saja Bani,” jawab Arlet pasrah, bagi Arlet  menolak permintaan Bani, itu sama saja menyuruh Bani melakukan sesuatu yang menyenangkan baginya. “Arlet, aku rasa aku mengantuk, bolehkah aku tidur sebentar disini” pinta Bani, “Tidurlah, aku tidak akan mengganggu mu”, Arlet bangkit dari tempat duduknya, “Jangan pergi kemana-mana, tetaplah disini, kumohon Arlet” Bani menarik tangan Arlet dan menyuruh Arlet untuk duduk lagi, Arlet mengikuti perintah Bani, bagaimanapun Bani telah bersikap baik padanya dan juga Refi, selain itu Bani juga sangat sopan dengan Ibu Arlet, jadi Arlet pikir, tentu ia harus bersikap baik juga pada Bani, termasuk menemani Bani yang tertidur di kursi teras. Arlet memandangi Bani yang sedang tertidur, ia menyukai mata Bani, bulu matanya panjang, dan juga lebat, Arlet juga menyukai bentuk dagu Bani, Arlet tersenyum saat melihat Bani tertidur, Arlet menebak mungkin umurnya dengan umur Bani selisih dua tahun, wajah Bani terlihat dewasa, walau sikapnya memang terkesan masih seperti anak kecil. Ada yang aneh dalam hati Arlet, saat sedang bersama Bani, ia sejenak bisa lupa akan sakit hatinya, “Apakah benar kau akan berusaha membuat ku melupakan Ilal, kalu iya Bani, kumohon, buktikanlah perkataanmu itu, karena jika engkau tidak membuktikannya aku tidak tau akan bagaimana menghadapinya,” bisik Arlet. Bani tertidur cukup nyenyak, jam sebelas lebih tiga puluh menit, Arlet membangunkan Bani, “Bani…” kata Arlet pelan sambil menyentuh pundak Bani, “Hei… bangunlah Bani”, Arlet masih berusaha membangunkan Bani, Bani membuka matanya, ia tersenyum ketika melihat wajah Arlet begitu dekat dengannya, ia menyentuh pipi Arlet dan mencubitnya, “Hei… ini sakit Bani, lepaskan tanganmu” Arlet memukul Bani, Bani tertawa… “Menyenangkan sekali melihat wajah mu saat aku terbangun” Bani tersenyum, “Pulanglah, ini sudah jam setengah dua belas, bukankah kau ada tugas jaga jam dua?” Arlet bangkit dari kursinya, “Aku akan main kesini jika aku libur,” Bani berdiri mengambil mengambil rokok yang tadi ia taruh dimeja, “Terimakasih untuk sarapannya, itu sarapan yang sangat special bagiku, dan juga terimakasih karena telah mengizinkanku mengantarmu,” lanjut Bani, “Hati-hati dijalan ya,” pesan Arlet, Bani tersenyum, “Kau juga”, sahut Bani.
 Minggu, 13.30
Gamal Albani__ “Arlet, temani aku ke toko buku, kau mau kan?”
Arleta Harumi__ “Jam berapa?”
Gamal Albani__ “Satu jam lagi aku jemput dikos mu,”
Arleta Harumi__ “Baiklah, aku tungggu”
Tiga minggu di Semarang, Bani lumayan sering berkunjung ke tempat kos Arlet, membawakan Arlet makanan kesukaannya, waktu tiga minggu digunakan Bani untuk meyakinkan Arlet bahwa Bani serius dengan perkataannya, setidaknya tiga kali dalam seminggu Bani mengunjungi Arlet, menemani Arlet menulis skripsinya, makan siang bersama, nongkrong, nonton film, atau hanya sekedar duduk-duduk di kursi teras kos Arlet, tiga minggu itu juga digunakan Arlet untuk mengenal Bani lebih dekat, Edis, sahabat Arlet mengetahui kedekatan mereka karena tiap Arlet mengunjungi Edis, Bani selalu mengantarnya, “Arlet, dia baik, dia laki-laki yang manis, cocok denganmu, apa dia menyukaimu”, itu yang selalu Edis tanyakan tiap kali bertemu atau berbincang ditelepon dengan Arlet, tiga minggu itupun berlalu, ada yang lain dalam perasaan Arlet, Bani membuat Arlet semakin nyaman ketika berada didekatnya, kini semua itu sudah berjalan hampir selama dua bulan, jika Bani sempat ia selalu mengantar Arlet ke Semarang, dan menjemput Arlet ketika Arlet ingin pulang kembali kerumah orangtuanya, kini ada yang lain dalam hati Arlet, kini kedekatan Arlet dan Bani makin terlihat intim, hal yang sering dilakukan Bani ketika pergi dengan Arlet adalah Bani yang selalu memasangkan Shift Belt untuk Arlet, sebenarnya Arlet sudah sering mencegah Bani melakukan hal itu, namun sekali lagi, mencegah Bani sama halnya kau menyuruhnya melakukan hal ia inginkan. Pernah suatu hari, saat Bani libur, Bani menemani Arlet menulis skripsinya sampai tengah malam, tentu saja Arlet tidak tega jika menyuruh Bani pulang, alhasil Bani tidur didalam mobilnya semalaman, saat Arlet sedang dilanda stress karena skripsinya Bani lah yang menghibur Arlet, jika Bani tidak punya waktu untuk mengunjungi Arlet, maka Arlet hanya butuh berbicara dengan Bani ditelepon, jika Bani sedang ada waktu, maka akan Bani gunakan untuk mengunjugi Arlet, banyak hal yang telah mereka lalui, semua sahabat-sahabat Arlet termasuk Edis sudah mengetahui ikhwal kedekatannya dengan Bani, Bani juga pernah mengenalkan Arlet pada Ian sahabatnya dan juga bukan hanya kepada Ian, namun juga kepada Ibu Ian, yang sudah Bani anggap sebagai Ibu keduanya.
15.00…
“Arlet, keluarlah aku didepan pintu kos mu sekarang,” Bani menelpon Arlet, “Iya, tunggu sebentar” jawab Arlet. Arlet keluar dari kamar kosnya, ia mengenakan kemeja merah hati celana jeans skinny fit hitam, dan flat shoes berwarna navy, “Kau telat setengah jam Bani,” Arlet menutup pintu kosnya, “Maaf, tadi Ian menyuruhku untuk mengantarnya ke Rumah Sakit dulu,” Bani terseyum melihat Arlet, “Arleta apa kita ini jodoh?” Bani mengangkat alis kirinya, “Biara apa kau ini”, Arlet melotot pada Bani, “Hari ini kita terlihat serasi bukan” Bani memandangi Arlet, Arlet balas memandangi Bani. Bani memakai kemeja polos lengan pendek berwarna merah hati, dan celana jeans pendek selutut, dan sandal berwarna hitam, “O my god, kalau aku tau kau memakai pakaian seprti itu, aku tidak akan memakai pakaian seperti ini Bani” Arlet berjalan meniggalkan Bani yang masih diam berdiri.
Gramedia Pandanaran, 15.45…
“Bani, kau mau mencari buku apa?”, Arlet melirik Bani, “Buku psikologi,” jawab Bani, “Kalau begitu aku akan ke bagian buku-buku pendidikan”, kata Arlet, “Kau tidak apa sendirian?” Bani memegang tangan Arlet, “Tidak apa-apa,” Arlet menggeleng, “Nanti kalau aku sudah selesai aku akan langsung menemuimu,” Bani menatapmata Arlet, Arlet hanya diam mengangguk. Satu jam berlalu,,, “Sudah dapat bukunya” bisik Bani, Arlet menoleh “Sudah,” Arlet menunjukkan buku yang ingin ia beli, “Sini, biar aku yang membayarnya” Bani mengambil buku yang dipegang Arlet, “Bani, biar aku sendiri yang membayarnya”, Arlet mengambil buku itu lagi dari tangan Bani, “Arleta, sudahlah, anggap ini hadiah untukmu karena telah menemani ku” Bani mengambil buku itu lagi dari tangan Arlet, lalu berjalan dengan cepat menuju meja kasir, Arlet hanya menghela nafas untuk itu. “Arlet, aku lapar,kita makan dulu sebelum pulang ya,,” Bani memegangi perutnya, “Tapi ini sudah jam lima Bani,” Arlet melirik jam di tangan kirinya, “Apa tidak tunggu sehabis maghrib saja”, Arlet bertanya, “Sebentar saja, aku sudah sangat lapar Arlet,” bujuk Bani, “Memangnya kau mau makan dimana”, Arlet mengambil kantong plastic berisi buku dari tangan Bani, “Ada rumah makan padang enak di daerah Tembalang, tapi aku lupa nama rumah makan itu, kita makan disana ya”, Bani masih memegangi perutnya, “Kau gila, itu jaraknya lumayan jauh dari sini,” kata Arlet, “Lalu, aku kan bawa mobil, apa susahnya,” Bani menarik tangan Arlet, mereka berdua berjalan keluar, diluar sedang hujan cukup deras, Bani meminta Arlet untuk tetap didepan pintu masuk Gramedia, sementara Bani mengambil mobilnya, “Masuklah,” Bani membukakan pintu mobilnya untuk Arlet memayungi Arlet dengan kedua tangannya, “Terimakasih”, Arlet buru-buru masuk kedalam mobil, “Padahal tadi waktu kita berangkat belum turun hujan, kenapa sekarang deras begini,” Bani memasang Shift Belt nya, “Kau tidak akan tau kapan hujan akan turun,” Arlet menaruh tasnya dikursi belakang, “Iya, kau benar, yang tau akan itu hanya Tuhan,” Bani memasangkan Shift Belt untuk Arlet “Rambutmu basah”, Bani meyentuh rambut Arlet, wajah Bani sangat dekat dengan Arlet sekarang, jantung Arlet berdegup sangat kencang, “Kau bisa sakit nanti” Bani mengambil jaket miliknya dikursi belakang, mengeringkan rambut Arlet menggunakan jaket miliknya, “Jangan sampai sakit,” Bani membelai rambut pendek Arlet lalu memakaikan jaketnya untuk Arlet, menatap Arlet, berbisik “Aku sangat mencintaimu,” lalu terseyum, pipinya memerah, Arlet hanya terdiam, ada yang lain dalam hati Arlet, perasaan ini sama seperti saat ia jatuh cinta pada Ilal, tapi kali ini sedikit berbeda, kali ini perasaan itu jauh lebih kuat dari sebelumnya, hatinya meledak saat Bani membelai rambutnya tadi tadi, “Honestly, Bani,,,, I Love You too,” batin Arlet, “Sudahlah ayo jalan, katamu kau lapar” Arlet memukul pundak Bani, Bani langsung menyetir mobilnya meninggalkan Gramedia…
Iya, Arlet telah jatuh cinta pada Bani, pada kesederhanaan Bani memandang Arlet, pada dua bulan yang begitu menyenangkan untuk dilewati, Arlet banyak melakukan hal baru dengan Bani, ikut mendaki gunung dengan Bani, melihat Bani ketika ia sedang ada tugas jaga di rumah sakit, ikut membantu Bani merawat seorang anak kecil yang tervonis leukimea di rumah sakit, dan terlebih, Bani mampu membuat Arlet lupa akan Ilal, Arlet jatuh cinta pada Bani, ia tidak tau kapan ia mulai jatuh cinta pada Bani, dan ia juga tidak tau apa alasannya, mungkin benar kata pepatah jawa “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”, itu yang tejadi pada Arlet sekarang ia jatuh cinta karena terbiasa bersama, iya kini Arlet begitu terbiasa akan kehadiran Bani didekatnya.
Dua hari setelahnya, di Coffe Break, 15.30…
“Kau jaga jam berapa Bani?” Arlet meyerahkan segelas Capuccino hangat kesukaan Bani, “Terimakasih, jam Sembilan malam,” Bani tersenyum, “Kenapa kau tidak istirahat saja, kenapa malah menjemputku, aku bisa pulang sendiri,” Arlet meminum Vanilla Latte ice nya, “Selagi aku bisa, maka akan kulakukan Arlet,” ucap Bani, “Lagipula ada yang ingin kubicarakan”, imbuhnya, “Apa?” kata Arlet singkat, “Look at me Arlet,” Bani meraih tangan Arlet yang sedang memegangi Vanilla Latte ice nya, “Arleta Harumi Althaf,” tatapan Bani mulai serius, “Aku, mencintaimu, kau tau itu kan, Arlet, aku sangat mencintaimu, kau pernah berkata bukan, kalau tidak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, Arlet, saat pertama aku berjumpa denganmu di coffe break, aku langsung menyukaimu ketika aku menatap matamu, dan ketika kau menagis didepan ku, disaat itulah aku sadar bahwa aku bukan hanya menyukaimu, tapi juga mencintaimu, mungkin memang perkataan mu benar, tapi tidak ada yang salah akan hal itu, karena cinta memang tidak pernah salah bukan, yang salah adalah ketika kita menolak hadirnya cinta, kerena sama saja kita menolak anugerah Tuhan, jadi Arlet,,,” Bani menggenggam tangan Arlet, menatapnya dengan serius, “Maukah kau menjadi kekasihku dan juga calon pendampig hidupku?” tanya Bani. Arlet hanya terdiam, ia bingung harus mengatakan apa, disisi lain Arlet belum cukup yakin dengan Bani, disisi lain ia tau bahwa ia sudah mulai mencintai Bani, tapi ia butuh waktu lebih untuk yakin akan ketulusan Bani, “Beri aku waktu Bani,” Arlet menjawab, “Baiklah, aku tau kau belum yakin kepada ku, aku tidak akan memaksakan itu”, Bani tersenyum, “Kau laki-laki baik Bani, tapi aku hanya butuh waktu untuk yakin akan semua ini” Arlet membalas senyuman Bani.
Sehari setelah nya, 18.50…
“Arlet, ada yang cari kamu didepan” Ibu Arlet membuka kamar tidur Arlet, “Siapa, Bani?” tanya Arlet, “Bukan, dia bilang dia temannya Bani, cepat sana temui, jangan membuat orang lain menunggumu terlalu lama,” suruh Ibu Arlet, Arlet keluar dari kamar tidurnya, berjalan menuju ruang tamu, “Mas Ian,” Arlet terkejut, “Arlet, kamu harus ikut aku, ini soal Bani,” Wajah Ian panic, “Bani, ada apa dengan Bani?” Arlet memasang tampang serius, “Bani, dia kecelakaan Arlet, sekarang dia di rumah sakit, kondisi nya lumayan mengkhawatirkan,” jelas Ian, Arlet merasa ada petir menyambar hatinya, ia bahkan belum mengatakan pada Bani, bahwa ia juga mencintainya, Arlet lemas, ia terduduk dikursi, “Kita harus kesana mas Ian,” Arlet bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya mengambil jaket, lalu pamit kepada Ibunya,,,
Arlet berdiri didepan ruang operasi rumah sakit tempat Bani dirawat, ia tidak henti mengkhawatirkan keadaan Bani, “Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa, kumohon,” kata Arlet pelan, Ian duduk dikursi tunggu, Ian mencoba menenangkan Arlet namun sia-sia, Arlet begitu khawatir dengan keadaan Bani didalam,
“Adakah keluarga dari pasien”, tanya seorang perawat yang keluar dari ruang operasi, “Saya teman pasien suster,” Ian berdiri dari kursinya, “Pasien mengalami pendarahan hebat di lengan dan dahinya, selain itu juga terjadi kebocoran limpa, pasien membutuhkan transfusi darah, golongan darah pasien O negative, stok darah O negative di rumah sakit ini sedang tidak mencukupi,” jelas perawat, “Golongan darah saya O negative suster,” Arlet menghampiri perawat tadi, “Baiklah, ikut kami untuk menjalani tes lebih lanjut,” kata si perawat, “Mas Ian tunggu sini saja” Arlet berkata pada Ian, Ian hanya mengangguk….
Beberapa jam setelah operasi Bani… “Pasien sudah melewati masa kritisnya, saat ini biarkan ia istirahat, besok ketika pasien sadar, hubungi perawat atau dokter,” terang seorang Dokter yang menangani Bani, “Terimakih Dok,” Ian menjawab “Baiklah kalu begitu, saya tinggal dulu,” Dokter berjalan meninggalkan ruang perawatan Bani, Ian mengantar Dokter samapi depan pintu ruang perawatan Bani. Arlet terduduk dikursi samping tempat tidur Bani, ia menggenggam tangan Bani yang dipasang selang infus, memandangi wajah Bani, ada luka kecil di pipi kiri Bani, dahinya juga diperban, sesekali Arlet mengeluarkan air mata saat memandang wajah Bani, ia tak kuasa melihat keadaan Bani yang tidak sadarkan diri. “Arlet, terimaksih banyak karena kamu telah menyelamtkan hidup Bani, aku tidak tau Bani akan seperti apa jika tidak ada kamu, keluarga nya tinggal jauh di Pontianak,” kata Ian, “Bukan aku yang menyelamatkan Bani mas Ian, tapi Tuhan,” Arlet terseyum, “Aku mau disini sampai Bani sadar, nanti biar aku telepon Ibu untuk minta izin,” imbuh Arlet, “Baiklah kalau itu memang keinginanmu, aku akan menunggu diluar saja,” Ian pergi meninggalkan Arlet. “Tuhan, aku mencintainya, aku sungguh mencintainya, buat ia segera sadar Tuhan, aku masih ingin bersamanya, kumohon Tuhan,” Arlet menangis sambil menutup wajahnya, “Bani, aku mencintaimu, aku membutuhkamu Bani,” suara Arlet terisak…
Waktu tidak akan bisa menunggumu, kau yang harusnya mengatur waktu, jika engkau sudah yakin akan perasaanmu maka katakanlah sebelum itu terlambat, katakanlah seakan-akan kau tidak akan bisa bertemunya lagi, katakana itu sebelum terlambat.
Menjelang pagi, Arlet baru bisa memejamkan matanya, Arlet tertidur dikursi dengan posisi kepala diatas tempat tidur Bani, disamping tangan kiri Bani,  ia terbangun, saat ia merasakan belaian lembut dikepalanya, ia hafal dengan belaian tersebut, Arlet segera membuka matanya, melihat Bani, Bani sudah sadar, ia sedang memandangi Arlet yang berada disamping tempat tidurnya, Bani tersenyum, “Are you Ok?” tanya Arlet spontan, Bani hanya mengangguk, “Bani, aku mengkhwatirkanmu”, Arlet memeluk Bani, menangis diatas tubuh Bani, “Aku mencintaimu Bani, maaf karena membuatmu menunggu, aku mencintaimu Bani,” Arlet masih terisak. Bani membalas pelukan Arlet, memelai rambut Arlet dengan tangan kanannya, “Apa butuh semua ini untuk membuatmu mengatakan kalau kau mencintaiku, Arlet?” ucap Bani dengan nada suara rendah, “Aku juga mencintaimu Arlet, kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja aku mengalami kecelakaan seperti ini, supaya kau bisa mengakui itu Arlet” imbuh Bani, Arlet melepaskan pelukan Bani, memandang wajah Bani, “Kau gila,kau tidak tau kan bagaimana khawatirnya aku saat melihat mu terbaring, kau hampir saja mati Bani, kau pikir ini main-main, aku bahkan mengalahkan rasa takutku untuk mendonorkan darahku untukmu,” Arlet sedikit marah dengan ucapan Bani tadi, “Kau mendonorkan darahmu untukku”, tanya Bani, “Sudahlah, aku harus memberitahu perawat mengenai keadaanmu,” Arlet bangkit dari kursinya,,, Bani meraih tangan Arlet, “Terimakasih kerena telah menyelamatkan hidupku Arlet”…
Dua hari berikutnya,
Bani mengalami patah tulang dibagian pergelangan kakinya, namun tidak terlalu mengkhawatirkan hanya saja ia harus menggunakan kursi roda selama masa perawatan di rumah sakit, Dokter juga mengatakan untuk mengajak Bani keluar dipagi hari agar Bani bisa menghirup udara pagi diluar ruangan, Dokter bilang itu mampu mempercepat proses penyembuhan Bani, dua hari di rumah sakit, Arlet selalu menemani Bani, terutama dipagi hari, karena ia harus mengajak Bani berjalan-jalan dilingkungan sekitar rumah sakit, ketika sore sampai malam, Ian lah yang menjaga Bani, itu mereka lakukan bergantian selama tiga hari ini.
Hari ketiga Bani di Rumah Sakit, 05.30…

“Kapan kau berencana akan menikah Arlet,” Bani menggenggam tangan Arlet yang sedang duduk didepannya, “Target ku menikah umur dua puluh lima” jawab Arlet, “Kenapa” Arlet mendekatkan wajahnya, “Jika kau berumur dua puluh lima, maka saat itu umurku dua puluh delapan, tidak bisakah kau menikah diusiamu yang ke dua puluh dua”, Bani meyentuh pipi Arlet, “Kenapa harus terburu-buru, memangnya kau yakin akan menikahiku” Arlet merapikan rambut Bani yang sedikit berantakan, “Tentu,,, bukankah aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku serius akan itu,” ucap Bani, “Bani, tidak bisakah kita hanya menjalaninya dulu, biarlah itu semua waktu yang menentukan,” Arlet menjawab, Bani tersenyum, “Baiklah, kita jalani saja dulu”….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar