Bagian. 6
Honestly, I Love You…
Minggu, sehari setelah pernikahan
Ilal,…
“Arlet
sudahlah berhenti menangis, ka terus menangis dari sebelum kita sampai di
Surabaya, sudahlah Arlet, kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia”,
Edis menenangkan Arlet yang masih menangis, “Bisakah kau hanya diam saja,”
rengek Arlet, “Bagaimana bisa aku diam melihat sahabatku menangis seperti ini?”
bentak Edis, Arlet terdiam menghapus air matanya dengan tisu yang diberikan
Edis. “Empat tahun aku menjalin hubungan dengan Ilal, tapi mengapa Tuhan tidak
memilih ku sebagai pendamping hidup Ilal,
mengapa harus orang lain”, Arlet menatap Edis, “Tuhan selalu tau apa
yang terbaik untuk umatnya Arlet, seberapa lama kau menjalin hubungan tidak
bisa menentukan kau akan menikah dengan kekasihmu atau tidak, Tuhan lebih tau
siapa yang lebih cocok denganmu,” Edis menggenggam tangan Arlet, “Percayalah
Arlet, kau wanita yang baik, cantik, pintar, dan juga menyenangkan, walau
memang kau terkadang bersikap begitu dingin terhadap beberapa lelaki, aku
yakin, kau akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Ilal,
percayalah” imbuh Edis, “Terimakasih, kau memang sahabat terbaikku”, Arlet
tersenyum…
Senin, 08.00…
Arlet sedang bersiap-siap berangkat ke
Semarang saat pintu rumahnya diketuk seseorang, “Permisi”, teriak seorang
laki-laki dari luar, “Iya, sebentar”, jawab Arlet, Arlet membukakan pintu,
wajah yang sepertinya ia kenal muncul dari balik pintu kediaman orang tuanya,
“Bani”, Arlet terkejut, “Pagi, Arlet, apakah aku mengganggu?” Bani tersenyum,
menggaru-garuk kepalanya, “Untuk apa kau kesini, kau tidak ada tugas jaga?”
tanya Arlet, “Ada, tapi nanti jam dua siang, bolehkah aku masuk?” Bani meilhat
kedalam ruang tamu, “Tidak, kau tidak boleh masuk, dirumah tidak ada orang,
hanya ada aku, Ibu sedang mengantar Refi sekolah,” tolak Arlet, “Baiklah kalau
begitu, aku duduk disini saja”, Bani langsung duduk dikursi teras kediaman orangtua
Arlet yang terbuat dari bambu, “Sebentar aku ambilkan minum,” kata Arlet, Baru
kali ini ia melihat Bani tidak megenakan seragam perawatnya, kali ini Bani,
mengenakan celana jeans pendek selutut berwarna hitam, jersey Manchester
United, dan juga kacamata hitam, ia terlihat begitu santai, biasanya setiap
kali Arlet bertemu dengan Bani, pasti Bani masih mengenakan seragam perawat.
“Ini, diminum”, Arlet meletakkan Cappuccino hangat dimeja, “Wah-wah, kau bahkan
telah hafal dengan kopi kesukaanku,” ledek Bani, “Hanya ada itu dirumah,” balas
Arlet, “Kau mau kemana, cantik sekali”, tanya Bani, “Ke Semarang, aku harus
menyelesaikan skripsiku,” Arlet melihat jam di tangan kirinya,
“Berpenampilanlah seperti itu saat bertemu dengan ku, tidak bisakah?”, Bani
menatap Arlet, Arlet mengenakan celana Denim skinny fit berwarna hitam, kemeja
hitam bercorak bunga-bunga, blazer berwarna merah maroon, dan juga flat shoes
sewarna dengan blazer yang dikenakan Arlet, “Memang, ada yang berbeda dari
penampilan ku,?, tanya Arlet, “Hm, biasanya kau selalu memakai sneakers,
memakai jaket denim, dan juga mengikat rambutmu, kau terlihat lebih cantik jika
seperti ini, terlihat lebih feminim, dan,,, aku menyukai rambut mu yang kau
urai itu,” Bani memuji Arlet, “Sebenarnya kau mau apa pagi-pagi bertamu?” Arlet
tersenyum pahit kepada Bani, “Kau bahkan tidak mengucapkan terimakasih saat aku
memuji mu,” Bani kesal, “Aku merindukanmu, makanya aku kemari,” imbuh Bani,
“Kau bilang apa?, apa kau mau mati,” Arlet memukul pundak Bani lumayan keras,
“Kau ini, bersikaplah sedikit lembut, apa tidak boleh aku merindukanmu”, kata
Bani menahan sakit di pundaknya, “Sudahlah, pulang sana, aku harus pergi,”
Arlet menarik tangan Bani, menyuruhnya untuk pulang, “Bolehkah aku
mengantarmu”, Bani memegang tangan Arlet, “Tidak usah aku bisa berangkat
sendiri, dan lepaskan tanganmu dari tangan ku”, Arlet menarik tangannya dari
genggaman tangan Bani, “Tidak,” Bani memegang tangan Arlet lagi, “Kau tau
Arlet, aku selalu berdo’a dan meminta kepada Tuhan agar kau bisa mencintaiku, biarkan
aku mengantarmu ke Semarang,” tanya Bani, “Lepaskan dulu tanganku” pinta Arlet,
“Baiklah, kulepaskan, tapi biarkan aku mengantarmu,” Bani melepaskan tangan
Arlet, Arlet pergi meninggalkan Bani, “Aku mau kau mencintaiku Arlet”, terik Bani
sambil tersenyum. Arlet keluar dari rumah membawa tas ransel hitamnya dan juga
helm ia menutup pintu dan menguncinya, “Arlet, tidak usah bawa helm, aku akan
mengantarmu menggunakan mobilku”, Bani mengambil helm Arlet dan menaruhnya
dimeja,,, berjalan menuju mobil Honda Brio berwarna putih dengan menggandeng
tangan Arlet, membukan pintu mobil, dan mempersilahkan Arlet masuk., “Mobil
siapa ini?” tanya Arlet polos, “Ini mobil milik mbak Andien, tapi mbak Andien
memberikan mobil ini untuk ku sebagai hadiah kelulusanku, dia mengirim ini
langsung dari Pontianak,” jelas Bani, “Kukira kau mencurinya”, Arlet menaruh
ranselnya dikursi belakang, “Apakah wajah ku terlihat seperti seorang pencuri
Arlet, kalau iya, pasti aku pencuri paling tampan yang pernah kau temui” Bani
memasangkan Shift Belt Arlet,,,
09.30…
Arlet sampai di tempat kosnya dengan
Bani, “Arlet, kau tidak menyuruhku masuk dulu,” Bani keluar dari dalam mobil
miliknya, “Aku lapar sekali,” imbuh Bani, “Kau belum sarapan?”, tanya Arlet,
Bani hanya menggeleng sambil memegangi peruntnya, “Kau mau makan apa?” Arlet
menatap Bani yang terlihat seperti anak kecil yang sangat lapar, “Buatkan aku,
mie goreng, telur dadar dan juga nasi,” Bani tersenyum pada Arlet, “Kau ini,
mengapa tidak beli saja di rumah makan Bani,” Arlet menahan suaranya, “Aku
ingin kau yang membuatkannya, aku mohon, buatkan aku mie goring, ya?” rengek
Bani, “Parkir mobilmu dengan benar dulu,” suruh Arlet, Bani menuruti perintah
Arlet, “Tunggu disini, tamu laki-laki hanya boleh menunggu diteras,” Arlet
meminta Bani duduk dan menunggu diteras, Bani hanya tersenyum dan segera duduk.
15 menit kemudian…
“Ini, makanlah,,,” Arlet menyerahkan
piring kepada Bani yang berisi nasi, mie goreng, dan juga telur dadar, lalu
meletakkan segelas air putih dimeja, “Terimakasih banyak cantik”, Bani langsung
memakan sarapannya itu dengan lahap, “Apa kau menyukainya” tanya Arlet, “ Aku
selalu sarapan seperti ini jika sedang dikontrakan,” Bani mengangguk, “Apa kau
tidak pernah makan sayur?” Arlet memberikan segelas air putih pada Bani, Bani
menggeleng, “Aku hanya menyukai sayur buatan Ibuku,” Bani mengambil gelas yang
berisi air putih dari tangan Arlet, “Jadi kau tidak makan sayuran” Arlet heran,
“Kalau dirumah Ian iya, sayur buatan Ibu Ian rasa nya sedikit mirip dengan
buatan Ibuku dirumah,” jelas Bani, “Memang Ibumu dimana?” Arlet penasaran, “Ibu
dan Ayah tinggal di Pontianak, aku disini sudah sejak kuliah,” jawab Bani, “Kau
tidak kembali lagi ke Pontianak?, kenapa malah bekerja disini,” tanya Arlet
lagi, “Kalau aku kembali lagi ke Pontianak, Ayah pasti menyuruhku meneruskan
bisnisnya disana dan melarangku kembali ke sini,” Bani mengambil rokok dari
saku celananya, “Hei.. apa yang kukatakan padamu soal merokok?” Arlet mengingatkan
Bani, “Oh… maaf, itu sudah kebiasaan”, Bani menaruh rokoknya dimeja, “Jadi kau
tidak pernah pulang lagi ke Pontianak?” Arlet mengikat rambutnya, “Jangan
diikat,” Bani memegang tangan Arlet, dan melepaskan ikatan rambut Arlet,
“Sebenarnya Ibu menyuruhku pulang, Ibu bilang Ayah sudah menyerah dengan ku dan
tidak akan memaksa ku lagi, Ibu juga bilang bahwa bisnis Ayah sudah diambil
alih oleh Mbak Andien,” imbuh Bani, “Lalu, apa kau tidak akan pulang?” Arlet
menarik tangannya dari tangan Bani, “Nanti, setelah aku mendapatkanmu,” sahut
Bani, “Apa maksudmu”, Arlet terkejut dengan ucapan Bani, “Tidak,,” Bani
menggeleng, “Berapa lama di Semarang,” lanjut Bani, “Tiga minggu, kurasa” Arlet
menjawab, “Bolehkah aku main kesini jika aku sedang libur,” tanya Bani,
“Terserah kau saja Bani,” jawab Arlet pasrah, bagi Arlet menolak permintaan Bani, itu sama saja
menyuruh Bani melakukan sesuatu yang menyenangkan baginya. “Arlet, aku rasa aku
mengantuk, bolehkah aku tidur sebentar disini” pinta Bani, “Tidurlah, aku tidak
akan mengganggu mu”, Arlet bangkit dari tempat duduknya, “Jangan pergi
kemana-mana, tetaplah disini, kumohon Arlet” Bani menarik tangan Arlet dan
menyuruh Arlet untuk duduk lagi, Arlet mengikuti perintah Bani, bagaimanapun
Bani telah bersikap baik padanya dan juga Refi, selain itu Bani juga sangat
sopan dengan Ibu Arlet, jadi Arlet pikir, tentu ia harus bersikap baik juga
pada Bani, termasuk menemani Bani yang tertidur di kursi teras. Arlet
memandangi Bani yang sedang tertidur, ia menyukai mata Bani, bulu matanya
panjang, dan juga lebat, Arlet juga menyukai bentuk dagu Bani, Arlet tersenyum
saat melihat Bani tertidur, Arlet menebak mungkin umurnya dengan umur Bani
selisih dua tahun, wajah Bani terlihat dewasa, walau sikapnya memang terkesan
masih seperti anak kecil. Ada yang aneh dalam hati Arlet, saat sedang bersama
Bani, ia sejenak bisa lupa akan sakit hatinya, “Apakah benar kau akan berusaha
membuat ku melupakan Ilal, kalu iya Bani, kumohon, buktikanlah perkataanmu itu,
karena jika engkau tidak membuktikannya aku tidak tau akan bagaimana
menghadapinya,” bisik Arlet. Bani tertidur cukup nyenyak, jam sebelas lebih
tiga puluh menit, Arlet membangunkan Bani, “Bani…” kata Arlet pelan sambil
menyentuh pundak Bani, “Hei… bangunlah Bani”, Arlet masih berusaha membangunkan
Bani, Bani membuka matanya, ia tersenyum ketika melihat wajah Arlet begitu
dekat dengannya, ia menyentuh pipi Arlet dan mencubitnya, “Hei… ini sakit Bani,
lepaskan tanganmu” Arlet memukul Bani, Bani tertawa… “Menyenangkan sekali
melihat wajah mu saat aku terbangun” Bani tersenyum, “Pulanglah, ini sudah jam setengah
dua belas, bukankah kau ada tugas jaga jam dua?” Arlet bangkit dari kursinya, “Aku
akan main kesini jika aku libur,” Bani berdiri mengambil mengambil rokok yang
tadi ia taruh dimeja, “Terimakasih untuk sarapannya, itu sarapan yang sangat
special bagiku, dan juga terimakasih karena telah mengizinkanku mengantarmu,”
lanjut Bani, “Hati-hati dijalan ya,” pesan Arlet, Bani tersenyum, “Kau juga”,
sahut Bani.
Minggu, 13.30
Gamal Albani__ “Arlet, temani aku ke
toko buku, kau mau kan?”
Arleta Harumi__ “Jam berapa?”
Gamal Albani__ “Satu jam lagi aku
jemput dikos mu,”
Arleta Harumi__ “Baiklah, aku tungggu”
Tiga minggu di Semarang, Bani lumayan
sering berkunjung ke tempat kos Arlet, membawakan Arlet makanan kesukaannya,
waktu tiga minggu digunakan Bani untuk meyakinkan Arlet bahwa Bani serius
dengan perkataannya, setidaknya tiga kali dalam seminggu Bani mengunjungi
Arlet, menemani Arlet menulis skripsinya, makan siang bersama, nongkrong,
nonton film, atau hanya sekedar duduk-duduk di kursi teras kos Arlet, tiga
minggu itu juga digunakan Arlet untuk mengenal Bani lebih dekat, Edis, sahabat
Arlet mengetahui kedekatan mereka karena tiap Arlet mengunjungi Edis, Bani
selalu mengantarnya, “Arlet, dia baik, dia laki-laki yang manis, cocok
denganmu, apa dia menyukaimu”, itu yang selalu Edis tanyakan tiap kali bertemu
atau berbincang ditelepon dengan Arlet, tiga minggu itupun berlalu, ada yang
lain dalam perasaan Arlet, Bani membuat Arlet semakin nyaman ketika berada
didekatnya, kini semua itu sudah berjalan hampir selama dua bulan, jika Bani
sempat ia selalu mengantar Arlet ke Semarang, dan menjemput Arlet ketika Arlet
ingin pulang kembali kerumah orangtuanya, kini ada yang lain dalam hati Arlet,
kini kedekatan Arlet dan Bani makin terlihat intim, hal yang sering dilakukan
Bani ketika pergi dengan Arlet adalah Bani yang selalu memasangkan Shift Belt
untuk Arlet, sebenarnya Arlet sudah sering mencegah Bani melakukan hal itu,
namun sekali lagi, mencegah Bani sama halnya kau menyuruhnya melakukan hal ia
inginkan. Pernah suatu hari, saat Bani libur, Bani menemani Arlet menulis
skripsinya sampai tengah malam, tentu saja Arlet tidak tega jika menyuruh Bani
pulang, alhasil Bani tidur didalam mobilnya semalaman, saat Arlet sedang
dilanda stress karena skripsinya Bani lah yang menghibur Arlet, jika Bani tidak
punya waktu untuk mengunjungi Arlet, maka Arlet hanya butuh berbicara dengan Bani
ditelepon, jika Bani sedang ada waktu, maka akan Bani gunakan untuk mengunjugi
Arlet, banyak hal yang telah mereka lalui, semua sahabat-sahabat Arlet termasuk
Edis sudah mengetahui ikhwal kedekatannya dengan Bani, Bani juga pernah
mengenalkan Arlet pada Ian sahabatnya dan juga bukan hanya kepada Ian, namun
juga kepada Ibu Ian, yang sudah Bani anggap sebagai Ibu keduanya.
15.00…
“Arlet, keluarlah aku didepan pintu kos
mu sekarang,” Bani menelpon Arlet, “Iya, tunggu sebentar” jawab Arlet. Arlet
keluar dari kamar kosnya, ia mengenakan kemeja merah hati celana jeans skinny
fit hitam, dan flat shoes berwarna navy, “Kau telat setengah jam Bani,” Arlet
menutup pintu kosnya, “Maaf, tadi Ian menyuruhku untuk mengantarnya ke Rumah
Sakit dulu,” Bani terseyum melihat Arlet, “Arleta apa kita ini jodoh?” Bani
mengangkat alis kirinya, “Biara apa kau ini”, Arlet melotot pada Bani, “Hari
ini kita terlihat serasi bukan” Bani memandangi Arlet, Arlet balas memandangi
Bani. Bani memakai kemeja polos lengan pendek berwarna merah hati, dan celana
jeans pendek selutut, dan sandal berwarna hitam, “O my god, kalau aku tau kau
memakai pakaian seprti itu, aku tidak akan memakai pakaian seperti ini Bani”
Arlet berjalan meniggalkan Bani yang masih diam berdiri.
Gramedia Pandanaran, 15.45…
“Bani, kau mau mencari buku apa?”,
Arlet melirik Bani, “Buku psikologi,” jawab Bani, “Kalau begitu aku akan ke
bagian buku-buku pendidikan”, kata Arlet, “Kau tidak apa sendirian?” Bani memegang
tangan Arlet, “Tidak apa-apa,” Arlet menggeleng, “Nanti kalau aku sudah selesai
aku akan langsung menemuimu,” Bani menatapmata Arlet, Arlet hanya diam
mengangguk. Satu jam berlalu,,, “Sudah dapat bukunya” bisik Bani, Arlet menoleh
“Sudah,” Arlet menunjukkan buku yang ingin ia beli, “Sini, biar aku yang
membayarnya” Bani mengambil buku yang dipegang Arlet, “Bani, biar aku sendiri
yang membayarnya”, Arlet mengambil buku itu lagi dari tangan Bani, “Arleta,
sudahlah, anggap ini hadiah untukmu karena telah menemani ku” Bani mengambil
buku itu lagi dari tangan Arlet, lalu berjalan dengan cepat menuju meja kasir,
Arlet hanya menghela nafas untuk itu. “Arlet, aku lapar,kita makan dulu sebelum
pulang ya,,” Bani memegangi perutnya, “Tapi ini sudah jam lima Bani,” Arlet
melirik jam di tangan kirinya, “Apa tidak tunggu sehabis maghrib saja”, Arlet
bertanya, “Sebentar saja, aku sudah sangat lapar Arlet,” bujuk Bani, “Memangnya
kau mau makan dimana”, Arlet mengambil kantong plastic berisi buku dari tangan
Bani, “Ada rumah makan padang enak di daerah Tembalang, tapi aku lupa nama
rumah makan itu, kita makan disana ya”, Bani masih memegangi perutnya, “Kau
gila, itu jaraknya lumayan jauh dari sini,” kata Arlet, “Lalu, aku kan bawa
mobil, apa susahnya,” Bani menarik tangan Arlet, mereka berdua berjalan keluar,
diluar sedang hujan cukup deras, Bani meminta Arlet untuk tetap didepan pintu
masuk Gramedia, sementara Bani mengambil mobilnya, “Masuklah,” Bani membukakan
pintu mobilnya untuk Arlet memayungi Arlet dengan kedua tangannya,
“Terimakasih”, Arlet buru-buru masuk kedalam mobil, “Padahal tadi waktu kita
berangkat belum turun hujan, kenapa sekarang deras begini,” Bani memasang Shift
Belt nya, “Kau tidak akan tau kapan hujan akan turun,” Arlet menaruh tasnya
dikursi belakang, “Iya, kau benar, yang tau akan itu hanya Tuhan,” Bani memasangkan
Shift Belt untuk Arlet “Rambutmu basah”, Bani meyentuh rambut Arlet, wajah Bani
sangat dekat dengan Arlet sekarang, jantung Arlet berdegup sangat kencang, “Kau
bisa sakit nanti” Bani mengambil jaket miliknya dikursi belakang, mengeringkan
rambut Arlet menggunakan jaket miliknya, “Jangan sampai sakit,” Bani membelai
rambut pendek Arlet lalu memakaikan jaketnya untuk Arlet, menatap Arlet,
berbisik “Aku sangat mencintaimu,” lalu terseyum, pipinya memerah, Arlet hanya
terdiam, ada yang lain dalam hati Arlet, perasaan ini sama seperti saat ia
jatuh cinta pada Ilal, tapi kali ini sedikit berbeda, kali ini perasaan itu
jauh lebih kuat dari sebelumnya, hatinya meledak saat Bani membelai rambutnya
tadi tadi, “Honestly, Bani,,,, I Love You too,” batin Arlet, “Sudahlah ayo
jalan, katamu kau lapar” Arlet memukul pundak Bani, Bani langsung menyetir
mobilnya meninggalkan Gramedia…
Iya, Arlet telah jatuh cinta pada Bani,
pada kesederhanaan Bani memandang Arlet, pada dua bulan yang begitu
menyenangkan untuk dilewati, Arlet banyak melakukan hal baru dengan Bani, ikut
mendaki gunung dengan Bani, melihat Bani ketika ia sedang ada tugas jaga di
rumah sakit, ikut membantu Bani merawat seorang anak kecil yang tervonis
leukimea di rumah sakit, dan terlebih, Bani mampu membuat Arlet lupa akan Ilal,
Arlet jatuh cinta pada Bani, ia tidak tau kapan ia mulai jatuh cinta pada Bani,
dan ia juga tidak tau apa alasannya, mungkin benar kata pepatah jawa “Witing
Tresno Jalaran Soko Kulino”, itu yang tejadi pada Arlet sekarang ia jatuh cinta
karena terbiasa bersama, iya kini Arlet begitu terbiasa akan kehadiran Bani
didekatnya.
Dua hari setelahnya, di Coffe Break,
15.30…
“Kau jaga jam berapa Bani?” Arlet
meyerahkan segelas Capuccino hangat kesukaan Bani, “Terimakasih, jam Sembilan
malam,” Bani tersenyum, “Kenapa kau tidak istirahat saja, kenapa malah
menjemputku, aku bisa pulang sendiri,” Arlet meminum Vanilla Latte ice nya, “Selagi
aku bisa, maka akan kulakukan Arlet,” ucap Bani, “Lagipula ada yang ingin
kubicarakan”, imbuhnya, “Apa?” kata Arlet singkat, “Look at me Arlet,” Bani
meraih tangan Arlet yang sedang memegangi Vanilla Latte ice nya, “Arleta Harumi
Althaf,” tatapan Bani mulai serius, “Aku, mencintaimu, kau tau itu kan, Arlet,
aku sangat mencintaimu, kau pernah berkata bukan, kalau tidak ada yang namanya
cinta pada pandangan pertama, Arlet, saat pertama aku berjumpa denganmu di
coffe break, aku langsung menyukaimu ketika aku menatap matamu, dan ketika kau
menagis didepan ku, disaat itulah aku sadar bahwa aku bukan hanya menyukaimu,
tapi juga mencintaimu, mungkin memang perkataan mu benar, tapi tidak ada yang
salah akan hal itu, karena cinta memang tidak pernah salah bukan, yang salah
adalah ketika kita menolak hadirnya cinta, kerena sama saja kita menolak
anugerah Tuhan, jadi Arlet,,,” Bani menggenggam tangan Arlet, menatapnya dengan
serius, “Maukah kau menjadi kekasihku dan juga calon pendampig hidupku?” tanya
Bani. Arlet hanya terdiam, ia bingung harus mengatakan apa, disisi lain Arlet
belum cukup yakin dengan Bani, disisi lain ia tau bahwa ia sudah mulai
mencintai Bani, tapi ia butuh waktu lebih untuk yakin akan ketulusan Bani,
“Beri aku waktu Bani,” Arlet menjawab, “Baiklah, aku tau kau belum yakin kepada
ku, aku tidak akan memaksakan itu”, Bani tersenyum, “Kau laki-laki baik Bani,
tapi aku hanya butuh waktu untuk yakin akan semua ini” Arlet membalas senyuman
Bani.
Sehari setelah nya, 18.50…
“Arlet, ada yang cari kamu didepan” Ibu
Arlet membuka kamar tidur Arlet, “Siapa, Bani?” tanya Arlet, “Bukan, dia bilang
dia temannya Bani, cepat sana temui, jangan membuat orang lain menunggumu
terlalu lama,” suruh Ibu Arlet, Arlet keluar dari kamar tidurnya, berjalan
menuju ruang tamu, “Mas Ian,” Arlet terkejut, “Arlet, kamu harus ikut aku, ini
soal Bani,” Wajah Ian panic, “Bani, ada apa dengan Bani?” Arlet memasang
tampang serius, “Bani, dia kecelakaan Arlet, sekarang dia di rumah sakit,
kondisi nya lumayan mengkhawatirkan,” jelas Ian, Arlet merasa ada petir
menyambar hatinya, ia bahkan belum mengatakan pada Bani, bahwa ia juga
mencintainya, Arlet lemas, ia terduduk dikursi, “Kita harus kesana mas Ian,”
Arlet bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya mengambil jaket, lalu pamit kepada
Ibunya,,,
Arlet berdiri didepan ruang operasi
rumah sakit tempat Bani dirawat, ia tidak henti mengkhawatirkan keadaan Bani,
“Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa, kumohon,” kata Arlet pelan, Ian duduk
dikursi tunggu, Ian mencoba menenangkan Arlet namun sia-sia, Arlet begitu
khawatir dengan keadaan Bani didalam,
“Adakah keluarga dari pasien”, tanya
seorang perawat yang keluar dari ruang operasi, “Saya teman pasien suster,” Ian
berdiri dari kursinya, “Pasien mengalami pendarahan hebat di lengan dan
dahinya, selain itu juga terjadi kebocoran limpa, pasien membutuhkan transfusi
darah, golongan darah pasien O negative, stok darah O negative di rumah sakit
ini sedang tidak mencukupi,” jelas perawat, “Golongan darah saya O negative
suster,” Arlet menghampiri perawat tadi, “Baiklah, ikut kami untuk menjalani
tes lebih lanjut,” kata si perawat, “Mas Ian tunggu sini saja” Arlet berkata
pada Ian, Ian hanya mengangguk….
Beberapa jam setelah operasi Bani…
“Pasien sudah melewati masa kritisnya, saat ini biarkan ia istirahat, besok
ketika pasien sadar, hubungi perawat atau dokter,” terang seorang Dokter yang
menangani Bani, “Terimakih Dok,” Ian menjawab “Baiklah kalu begitu, saya
tinggal dulu,” Dokter berjalan meninggalkan ruang perawatan Bani, Ian mengantar
Dokter samapi depan pintu ruang perawatan Bani. Arlet terduduk dikursi samping
tempat tidur Bani, ia menggenggam tangan Bani yang dipasang selang infus,
memandangi wajah Bani, ada luka kecil di pipi kiri Bani, dahinya juga diperban,
sesekali Arlet mengeluarkan air mata saat memandang wajah Bani, ia tak kuasa
melihat keadaan Bani yang tidak sadarkan diri. “Arlet, terimaksih banyak karena
kamu telah menyelamtkan hidup Bani, aku tidak tau Bani akan seperti apa jika
tidak ada kamu, keluarga nya tinggal jauh di Pontianak,” kata Ian, “Bukan aku
yang menyelamatkan Bani mas Ian, tapi Tuhan,” Arlet terseyum, “Aku mau disini
sampai Bani sadar, nanti biar aku telepon Ibu untuk minta izin,” imbuh Arlet,
“Baiklah kalau itu memang keinginanmu, aku akan menunggu diluar saja,” Ian
pergi meninggalkan Arlet. “Tuhan, aku mencintainya, aku sungguh mencintainya,
buat ia segera sadar Tuhan, aku masih ingin bersamanya, kumohon Tuhan,” Arlet
menangis sambil menutup wajahnya, “Bani, aku mencintaimu, aku membutuhkamu
Bani,” suara Arlet terisak…
Waktu tidak akan bisa menunggumu, kau
yang harusnya mengatur waktu, jika engkau sudah yakin akan perasaanmu maka
katakanlah sebelum itu terlambat, katakanlah seakan-akan kau tidak akan bisa
bertemunya lagi, katakana itu sebelum terlambat.
Menjelang pagi, Arlet baru bisa
memejamkan matanya, Arlet tertidur dikursi dengan posisi kepala diatas tempat
tidur Bani, disamping tangan kiri Bani,
ia terbangun, saat ia merasakan belaian lembut dikepalanya, ia hafal
dengan belaian tersebut, Arlet segera membuka matanya, melihat Bani, Bani sudah
sadar, ia sedang memandangi Arlet yang berada disamping tempat tidurnya, Bani
tersenyum, “Are you Ok?” tanya Arlet spontan, Bani hanya mengangguk, “Bani, aku
mengkhwatirkanmu”, Arlet memeluk Bani, menangis diatas tubuh Bani, “Aku mencintaimu
Bani, maaf karena membuatmu menunggu, aku mencintaimu Bani,” Arlet masih
terisak. Bani membalas pelukan Arlet, memelai rambut Arlet dengan tangan
kanannya, “Apa butuh semua ini untuk membuatmu mengatakan kalau kau
mencintaiku, Arlet?” ucap Bani dengan nada suara rendah, “Aku juga mencintaimu
Arlet, kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja aku mengalami kecelakaan seperti
ini, supaya kau bisa mengakui itu Arlet” imbuh Bani, Arlet melepaskan pelukan
Bani, memandang wajah Bani, “Kau gila,kau tidak tau kan bagaimana khawatirnya
aku saat melihat mu terbaring, kau hampir saja mati Bani, kau pikir ini
main-main, aku bahkan mengalahkan rasa takutku untuk mendonorkan darahku
untukmu,” Arlet sedikit marah dengan ucapan Bani tadi, “Kau mendonorkan darahmu
untukku”, tanya Bani, “Sudahlah, aku harus memberitahu perawat mengenai
keadaanmu,” Arlet bangkit dari kursinya,,, Bani meraih tangan Arlet,
“Terimakasih kerena telah menyelamatkan hidupku Arlet”…
Dua hari berikutnya,
Bani mengalami patah tulang dibagian
pergelangan kakinya, namun tidak terlalu mengkhawatirkan hanya saja ia harus menggunakan
kursi roda selama masa perawatan di rumah sakit, Dokter juga mengatakan untuk
mengajak Bani keluar dipagi hari agar Bani bisa menghirup udara pagi diluar
ruangan, Dokter bilang itu mampu mempercepat proses penyembuhan Bani, dua hari
di rumah sakit, Arlet selalu menemani Bani, terutama dipagi hari, karena ia
harus mengajak Bani berjalan-jalan dilingkungan sekitar rumah sakit, ketika
sore sampai malam, Ian lah yang menjaga Bani, itu mereka lakukan bergantian
selama tiga hari ini.
Hari ketiga Bani di Rumah Sakit, 05.30…
“Kapan kau berencana akan menikah
Arlet,” Bani menggenggam tangan Arlet yang sedang duduk didepannya, “Target ku
menikah umur dua puluh lima” jawab Arlet, “Kenapa” Arlet mendekatkan wajahnya,
“Jika kau berumur dua puluh lima, maka saat itu umurku dua puluh delapan, tidak
bisakah kau menikah diusiamu yang ke dua puluh dua”, Bani meyentuh pipi Arlet,
“Kenapa harus terburu-buru, memangnya kau yakin akan menikahiku” Arlet
merapikan rambut Bani yang sedikit berantakan, “Tentu,,, bukankah aku sudah
pernah mengatakan padamu bahwa aku serius akan itu,” ucap Bani, “Bani, tidak
bisakah kita hanya menjalaninya dulu, biarlah itu semua waktu yang menentukan,”
Arlet menjawab, Bani tersenyum, “Baiklah, kita jalani saja dulu”….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar