Kamis, 04 September 2014

11 Bulan

Sebelumnya gue ucapin terimaksih banyak buat seorang yang udah ngebikin hidup gue selama sebelas bulan ini penuh makna, kebebasan, dan juga bahagia, terimkasih banyak, karena malam itu telah dengan hebat nya meninggakan gue dalam keheningan, *Ciailah lebay.
Oke, kenapa judulnya sebelas bulan, kenapa enggak sembilan bulan aja gitu, ya karena karena kalo sembilan itu bunda megandung ntar jadi nya, dan biar sok misterius gitu, *ok serius lin, jangan becanda...
Ini adalah bulan dimana gue nge-jomblo selama sebelas bulan, jujur nya guys, itu waktu paling lama gue nyandang predikat jomblo, *ah elah kayak gitu aja bangga.
Ya jelas lah gue bangga, lo tau kenapa gue betah jomblo lama-lama, karena gue merasa gue udah dewasa, tapi mungkin secara umur emang udah dewasa sih, enggak tau deh pola pikirnya, *oke fokus.
Dulu mungkin ketika jaman nya masih SMA, masih alay dan labil gitu, gue yakin pasti semua sama kayak gue, enggak betah yang namanya jomblo lama-lama, jaman gue SMA dulu ya, yg udah tiga tahun lalu itu, kalo enggak punya pacar tuh di sangka enggak gaul, dan enggak laku gitu, hampir remaja se umuran gue pasti semua nya punya pacar, mau itu yg cewek, setengah cewek, yg cowok atau yang setengah cowok sekalipun, *maksud lo apa setengah cewek dan setengah cowok lin, ah tauk gellap/////
Itu udah kayak semacam lingkaran setan menurut gue, gimana enggak, tiap habis putus dari satu orang, lo harus cepet2 nyari orang lain buat jadi pacar lo, alasannya sederhana biar lo bisa move on dari mantan lo, dan yg terjadi malah apa, bukannya move on, yang ada malah ngekhiantin pacar yg sekarang karena masih nyimpen perasaan ke mantan, itu gue alamin sendiri, dan itu terjadi karena proses move on yg hanya dalam hitungan hari atau minggu.
Nah, sekarang ketika gue udah berumur dua puluh tahun yg aka berakhir pada hari terakhir bulan oktober, hari hallowen guys, horor banget ya hari kelahiran gue,
Gue jadi bisa berpikir dengan otak gue sendiri,*ya iyalah masak otak sapi. bahwa kalau kita ingin benar2 move on dari mantan kita harus butuh proses yg enggak sebentar, proses yg lumayan lama itu emang menyiksa banget guys, tapi itu hanya terjadi kalo lo enggak bisa mengambil hikmah dari semua itu, nanti lo akan lebih siap mencintai orang baru dalam hidup lo, tanpa ada banyangan dari mantan...
Dan, sebelas tahun nge-jomblo, adalah fase dimana gue menjadi diri gue yg baru, bergaul dengan orang baru, aktivitas baru, dan nyobain hal2 baru yg sebelumya belum pernah gua lakuin, kebahagian itu berasal dari diri lo sendiri, kalo lo bisa ngelihat hal positif dari hal yg di anggap kebenyakan orang negatif, lo bisa dengan mudah menemukan kenikmatan hidup dari sisi lain, menemukan hal baru yang belum pernah lo temukan...
Sekali lagi terimakasih karena malam itu, kau telah benar2 meninggalkan ku, berkat mu, aku tidak perl terjebak dengan cemburu, gelisah, gundah, galau, gulana, gulali, atau apalah itu, berkat mu aku tidak perlu juga terjebak dalam hal yg kubenci "LDR", berkat mu, aku memperoleh kebebasan ku sendiri tanpa terikat aturan, menjalani hal baru, menjadi aku yang baru, aku yang mendapat hal2 baru setelah kepergian mu, aku yang tanpa takut melangkah pergi ketempat yg aku kehendaki, tanpa harus terjebak di dalam kamar kos da setia memandangi handphone, bisa ku bilang, kepergian mu adalah hal terindah yg menimpa ku, tapi, kau tetaplah seorang yg pernah membuat ku bahagia, dan berkat mu pula, Blog ini tercipta, tulisan ini tercipta, atau tulisan2 lain yg sudah menghiasi pos list ku, Terimakasih, Terimakasih ku ucapkan untuk mu "F".

Jumat, 18 Juli 2014

Percakapan Seorang Pelayan dengan Tuan nya.

Pelayan: Hamba datang menghadap Tuang ku, sungguh ada apakah gerangan yang membawa Tuan ku memanggil Hamba?

Raja: Ada yang bilang bahwa kau pandai bersyair, apakah kau seorang penyair?

Pelayan: Mohon maaf Tuan ku, hamba hanya lah seorang pelayan biasa, Hamba bukanlah seorang penyair seperti yang Tuan ku kira, dan Hamba juga tidak pandai bersyair seperti yang Tuan ku kira.

Raja: Tapi pelayan, seseorang itu mengatakan kepada ku, bahwa kau puisi yang kau buat sunggulah indah, mungkinkah kau membohongi ku pelayan?

Pelayan: Mohon maaf sekali lagi Tuan ku, Hamba ini memang gemar menulis di sela kesibukan Hamba melayani Tuan ku, tapi Hamba menolak jika Hamba disebut sebagai seorang penyair.

Raja: Apa gerangan yang membuat mu menolak disebut seperti itu pelayan?

Pelayan: Hamba hanya menulis apa yang Hamba rasakan, Hamba tidak tahu apakah yang Hamba tulis itu adalah syair ataukah puisi, Hamba hanya menulis nya sesuai hati Hamba, Tuan ku.

Raja: Kalau boleh aku tahu Pelayan, hal apakah yang kau tulis itu?

Pelayan: Maaf Tuan ku, yang Hamba tulis adalah mengenai laki-laki yang Hamba kasihi.

Raja: Tapi pelayan, harus selalu kau ingat bahwa seorang manusia harus lebih mengasihi pencipta nya dan Ibu nya ketimbang mengasihi lawan jenis nya.

Pelayan: Tentu saja Tuan ku, Hamba selalu ingat akan hal itu, bagi Hamba cinta seorang manusia kepada Tuhan dan Ibu nya tidak bisa dibandingkan atau disejajarkan oleh apapun, kedua cinta itu adalah murni dan tentu kita harus membalas nya dengan kemurniaan juga, Maaf Tuan ku, dan apabila jika ada manusia yang mengatakan kepada manusia lain yang ia cintai bahwa cinta nya itu melebihi apapun di dunia, maka sungguh perkataan itu adalah bohong.

Raja: Mengapa kau bisa mengatakan itu adalah kebohongan pelayan?

Pelayan: Karena setiap manusia tentu membagi perasaan cinta nya, kepada Tuhan nya, Ibu nya, Bapak nya, sahabat nya dan manusia-manusia lain disekitar ia.

Raja: Seperti itukah, jadi kau mau mengatakan bahwa tidak mungkin manusia mencintai lawan jenis nya seratus persen?

Pelayan: Mohon maaf Tuan ku, seperti itulah kiranya pendapat Hamba.

Kamis, 17 Juli 2014

Angan.

Ku ucap nama mu di tiap hembus nafas ku...
Kau yang aku tak tahu kapan kau akan mengerti...
Ku sulam helai demi helai benang ingatan tentang mu..
Kau yang aku tak tau kapan akan melihat ke arah ku kini berdiri...

Bayangmu menguntit menerkam tiap jejak langkah ku..
Angin membawa hawa dimana aku menyimpan memori indah senyum mu...
Bayangmu memeluk ingatan ku erat untuk tidak berpaling...
Angin menghembuskan wangi langkah mu di sore itu...

Angan ku mengembara liar tak bisa ku bendung...
Ilusi tentangmu kini tumbuh subur di relung hati ku...
Angan ku tak henti menyulam khayalan indah bersama mu...
Ilusi yang aku ingin ubah menjadi nyata...

Ku susun kata demi kata...
Menjadi kalimat yang bercerita tentang indah nya diri mu...
Bosan rasa nya aku selalu menyimpan rasa itu...
Ingin aku buang saja jauh kedalam jurang..

Sakit jika aku saja yang merasakan...
Hilang lah dari hidup ku, dari hati ku, dari ingatan ku, dari dunia ku...
Angan ku semakin jauh dari ku...
Bukankah seekor burung tak akan pernah bisa terbang bebas hanya dengan satu sayap.



Selasa, 15 Juli 2014

--First--



--First--
Seperti apapun kisahnya, bagiku cinta pertama tetaplah indah, tidak akan pernah ada habisnya untuk dikenang, walau itu berakhir dengan suka ataupun duka, dengan senyum ataupun air mata, cinta pertama tetaplah yang pertama, karena sebelumnya tidak ada orang lain selain ia.

Ketika di masa putih abu-abu….
            “Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat, seperti berjelaga jika ku sendiri,” bait terakhir dari musikalisasi puisi yang dibawakan Dian Sastro dalam film nya, “Tentang Seseorang dalam film Ada Apa Dengan Cinta,” tutup Rere saat selesai membawakan puisi yang terkenal lewat film Ada Apa Dengan Cinta.
Suara tepuk tangan yang tidak terlalu riuh memecah keheningan malam di Sekolah Rere, malam ini adalah malam awal tahun ajaran baru di SMA tempat Rere bersekolah. Pada malam setelah Masa Orientasi Sekolah berakhir, biasanya pihak Osis mengadakan camping satu malam di lingkungan sekolah untuk mengenalkan ekstra kurikuler yang ingin diikuti oleh setiap siswa baru, kegiatan ini wajib diikuti oleh semua siswa baru di sekolah, untuk lebih memahami mana ekstra kurikuler yang akan mereka ikuti, kecuali ekstra kurikuler Pramuka, karena ekstra tersebut wajib diikuti oleh semua siswa baru dan bukan ekstra kurikuler pilihan melainkan ekstra kurikuler utama.
“Keren banget Re, gila ya, gua baru tau lho kalau lo gapai banget ngebawain puisi,” puji Felli yang tidak lain adalah sahabat Rere.
“Yaelah, biasa aja kali Fell, gitu doang mah gua juga bisa,” sahut Alka, Alka adalah satu-satu nya orang yang selalu tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Rere, termasuk malam ini.
“Apain sih lo Al, siapa juga gitu yang nyuruh lo ikutan ngomong,” bentak Felli.
“Iya udahlah Fell, enggak ada untung  nya juga gitu ngurusin si Alka  yang abstrak itu  cuekin aja lah,” sahut Rere.
Reira Anggika Hastari, siswa kelas dua atau yang sekarang disebut dengan kelas sebelas di salah satu SMA Negeri di Kota Tangerang, ia adalah seorang perempuan yang seperti kebanyakan perempuan lain seusia nya, Rere begitu teman-teman nya memanggil, ia memiliki rambut panjang lurus, mata nya tajam berbentuk oval, alis mata nya hitam namun tidak terlalu tebal, ia memiliki warna kulit kuning langsat, Rere adalah salah satu anggota ektra kurikuler Palang Merah Remaja di sekolah nya, ia sudah mengikuti ekskul PMR sejak ia masih di SMP. Rere, begitu menikmati jika ia harus berjaga di barisan paling belakang ketika upacara bendera hari senin berlangsung, ia bangga ketika memakai seragam Osis nya karena tertempel badge lambang PMR yang berlatar warna kuning di lengan kiri seragam Osis nya, dan merawat teman-temannya di UKS,  PMR tingkat SMA adalah PMR tingkatan Wira, di badge nya berwarna latar kuning, jika di masih di tingkat SMP maka tingkatan nya adalah PMR Madya, badge nya berwarna latar biru tua atau navy.
Rere selain memiliki sahabat dekat bernama Felli, ia juga memiliki seorang yang bisa dibilang adalah haters nya, laki-laki itu bernama Reo Alka Zakaria, Rere dan teman-teman nya yang lain biasa mamanggil nya Alka, adalah seorang atlet lari sekolah dan juga anggota ekskul Paskibra Sekolah, Alka memiliki tinggi 176 cm, berbadan kurus ,kulit sawo matang, rambut plontos, mata lebar,  dan alis matanya hitam tebal. Alka adalah idola baru dikalangan siswi baru, saat menjadi panitia MOS, Alka lah yang paling banyak mendapatkan greetings massage tiap harinya.

Senin, hari pertama di kelas sebelas IPS 1…
“Re, ikut gua ke lapangan, penting Re penting,” bujuk Felli.
“Apaan sih Fell, apanya yang penting?” Tanya Rere dengan wajah kebingungan.
“Si Alka, katanya mau pingsan Re, ayo buruan ikut gua,” Felli menarik tangan Rere.
Rere melapaskan tangan Felli “Kenapa harus gua sih Fell, kan ada Haris, dia juga anak PMR kan, lagian lo tau kan kalau gua sama Alka tu enggak pernah akur, males ah gua Fell”.
“Eh Reira Anggika Hastari, sejak kapan anak PMR pandang bulu nolongin orang?”, Felli langsung menarik Rere ke ruang UKS.
Ruang UKS sekolah…
Rere masuk kedalam ruangan yang luas nya tidak ada setengah dari ruang kelas nya, ada satu tempat tidur berukuran kecil, dispenser, kotak P3K, dan sebuah kursi dan meja kayu tempat menaruh dispenser.
“Lo kenapa Al?” Tanya Rere jutek.
“Kepala gua pusing Re, belum sarapan tadi pagi” jawab Alka dengan nada bicara lemah.
Rere memukul pundak Alka yang tengah berbaring di tempat tidur ruang UKS, “Ya lo juga gila, udah tau kalau hari senin tu selain ada upacara juga ada jadwal olahraga masih aja enggak sarapan, jangan-jangan lo belum baca jadwal mata pelajaran kita ya Al.”
“Bisa enggak sih enggak pake mukul Re, gua lagi sakit bukan nya di tolongin malah lo pukulin, lo tuh anak PMR model apa sih, iya gua udah baca lah, kalau enggak gua baca enggak mungkin tadi gua ikut olahraga pae seragan olahraga,” Alka membela diri.
Rere menghidupkan dispenser yang ada di ruang UKS, mengisi gelas dengan separuh air hangat yang di hangatkan lewat disepenser, “Nih minum dulu air putih nya, gua ke kantin sebentar mesan makanan buat lo, abisin air putih nya Al, jangan Cuma lo liatin.”
Beberapa menit berselang…
“Re, kenapa ya kita tuh enggak pernah akur dari dulu, padahal waktu kelas sepuluh kita satu kelas, terus sekarang kelas sebelas kita juga satu kelas, kenapa ya kita enggak pernah akur?” Alka bertanya sambil sibuk mengunyah.
“Jangan Tanya sama gua Al, Tanya sama diri lo sendiri, kenapa dari dulu sampai sekarang lo selalu enggak suka sama hal yang gua lakuin,” jawab Rere “Nih makan sendiri, yang sakit kan kepala lo bukan tangan lo, jadi lo masih bisa kan makan sendiri,” Rere menyerahkan semangkuk bubur ayam kepada Alka.
Alka tidak berbicara lagi, ia terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu lalu melanjutkan mengunyah sarapan nya.
Selasa, 06.35…
Rere berjalan sendiri memasuki gerbang sekolah nya, ia sedang asyik mendengarkan lagu favorit di handphone nya menggunakan earphone ketika suara Alka datang mengganggu.
“Rere,” teriak Alka sambil melepaskan earphone yang terpasang di telinga Rere.
“Apa-apaan sih lo, enggak sopan banget deh, balikin earphone gua Al,” Rere mengambil earphone miliknya dari tangan Alka.
“Re gua bilangan ya, enggak baik tau jalan sambil telinga ditutupin sama earphone gitu, lagian ngapain sih lo setiap pagi pasti selalu dengarin lagu pake earphone gitu sambil jalan pula,” cerocos Alka.
“Bukan urusan lo, eh Al, gara-gara pagi-pagi gini gua ketemu lo itu jadi ngerusak mood gua tau enggak,” Rere mengacungkan jari telunjuk nya didepan mata Alka.
“Kalau gua ngasih ini, mood lo apa masih rusak?” Alka mengeluarkan sekotak cokelat dari dalam tas nya “Makasih ya Re, kemaren udah ngerawat gua di ruang UKS, nih sebagai tanda terimakasih dari gua.”
Rere memegang dahi Alka “Lo enggak lagi sakit kan Al?, tumben sikap lo manis banget sama gua?”
“Yaelah nih anak, gua baik-baik aja kali Re, ini cokelat gua beli buat lo karena kemarin lo udah ngebeliin gua sarapan,” jelas Alka.
Rere tersenyum, “Oh, gua kira kepala lo masih pusing, makasih ya cokelat ya,” Rere menerima cokelat pemberian Alka.
Alka berseri-seri mebalas senyuman Rere, entah apa yang ada di benak Alka, Rere tidak berminat untuk mengetahui nya.
Hari-hari berikutnya di sekolah berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa di bagku kelas sebelas, dan tidak ada hal yang berubah. Namun ada satu perubahan mencolok yang mungkin hanya dirasakan oleh Rere, perubahan itu adalah Alka, seratus delapan puluh derajat sikap Alka kepada Rere berubah yang awalnya Alka selalu mengejek dan tidak pernah suka dengan apapun yang dilakukan Rere hilang begitu saja, semester pertama di kelas sebelas sudah hamper selesai, Alka tiap hari nya berubah menjadi lebih bersikap manis kepada Rere, tak jarang juga Alka menemani Rere ketika mengikuti kegiatan rutin mingguna ekstra kurikuler nya.
“Cie-cie, yang udah akrab banget sama Alka,” Felli menggoda Rere yang sedang sibuk membaca buku Akuntansi di ruang kelas.
“Apaan sih lo Fell, dulu aja waktu gua masih sering ribut sama dia lo nyuruh-nyuruh gua buat damai sama dia, sekarang giliran udah damai, eh lo nya malah ngegodain gua terus,” protes Rere.
“Iya-iya Re, gua Cuma senang aja, telinga gua tuh rasanya nyaman banget karena enggak lagi ngedengerin omelan lo soal Alka, tapi Re, sikap nya Alka malah jadi manis banget sama lo, jangan-jangan dia punya perasaan sama lo Re?” ucap Felli dengan wajah ingin tau.
“Ya enggak lah, enggak mungkin Fell, gua sama Alka itu Cuma temenan biasa, ya kayak gua sama lo gini,” jawab Rere sembari menaruh buku akuntansi kedalam tas ransel nya.
“Jangan bilang gitu Re, pamali, awalnya sih emang temenan, tapi setelah itu, kita semua enggak ada yang tau kan,” Felli melirik Rere, “Ngomong-ngomong lo jadi ikut camping ke Cipelang kan Re?”
“Ya jadilah, gua kan panitia dari Osis, lagian camping nya nanti kan sekalian buat ngelantik anggota ekstra kurikuler baru,” jelas Rere.
“Bagus deh kalau gitu, gua juga dapat tugas buat jadi panitia pelantika ekskul Seni,” wajah Felli antusias, Felli tergabung dalam ekstra kurikuler Seni di sekolah mereka.
Akhir Semester ganjil,,,
 Bumi Perkemahan Cipelang, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat…
Cipelang, berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, tempat ini adalah langgan sekolah Rere untuk melangsungkan acara pelantikan anggota baru di tiap-tiap ekstra kurikuler di sekolah. Rere selain bertugas menjadi panitia dari Osis, ia juga menjadi salah satu yang akan menguji tiap anggota baru ekskul PMR yang akan dilantik, Rere menjadi panitia dari Osis bersama Alka, hal ini membuat mereka makin bertambah akrab satu sama lain.
Hari kedua di Cipelang,,,
Rere sedang berada di tenda milik anggota baru ekskul PMR untuk membantu mereka menyiapkan sarapan ketika Alka menghampiri nya dengan membawa sebuah gitar.
“Re, dengerin baik-baik lagu yang mau gua nyanyiin ini ya,” Alka memasang tampang serius, menghela nafas beberapa detik lalu ia mulai memainkan gitar nya dan menyanyikan sebuah lagu milik Glenn Fredly,,,
Sedalam yang pernah kurasa…
Hasrat ku hanyalah untuk mu…
Terukir manis…
Dalam relungan ku…
Jiwa mu, jiwa ku menyatu…
Biarkanlah ku rasakan…
Hangat nya sentuhan kasih mu…
Bawa daku, penuhi ku…
Berilah diri ku kasih putih, dihati ku…
Kucurahkan isi jiwa ku, hanya padamu…
Dalam air itu…
Ku bawa selamanya diri ku…
--Kasih Putih.


          Rere  tersenyum “Nice song, in nice place, gua baru tau kalau lo gapai banget ngegitar,”
            Alka membalas senyuman Rere “Makasih Re, tapi ada hal lain yang pengen gua sampein, lagu tadi cuma prolog nya aja,” Alka menghela nafas panjang “Rere dengerin baik-baik apa yang mau gua omongin, lo jangan bilang apa-apa sebelum gua selesai ngomong,” Alka menghela nafas nya sekali lagi “Re, gua sayang sama lo, lo tau Re alasan kenapa gua selalu cari gara-gara sama lo, itu karena semata-mata gua pengen dapetin perhatian dari lo, habisnya lo jutek banget sih Re, lo tu enggak sih Re, baru kali ini lho gua ngungkapin perasaan gua langsung ke cewek, ya mumpung lagi di Cipelang, kan jarang-jarang juga ya Re kita ke tempat yang asyik kayak gini,” Alka terdiam sejenak “Kok lo diem aja sih Re” lanjut nya.
“Gimana sih, tadi lo sendiri yang nyuruh gua jangan ngomong apa-apa sebelum lo selesai ngomong,” ucap Rere “Jadi, lo udah selesai ngomong apa belum?”
Alka menggaruk-garuk kepala plontos nya “Belum, maih ada yang pengen gua omongin,” Alka menghela nafas lagi “Reira, apa yang gua omongin tadi itu murni dari hati gua, gua sayang Re sama lo, emang sih gua udah sering suka sama cewek lain, tapi kalau sama lo, itu bukan perasaan suka Re, tapi perasaan sayang,”
“Alasan nya apa lo bisa sayang sama gua? Dan kenapa harus gua?” Tanya Rere.
Alka memasang tampang serius “Re, apa untuk sayang sama seseorang kita harus punya alasan? Enggak Re, kalau ada alasannya itu namanya kagum, bukan sayang, dan kenapa lo, gua juga enggak pernah tau kenapa lo, cinta itu enggak pernah bisa memilih di tempat mana ia akan tumbuh, would you be my girlfriend Reira?”
Rere terdiam, memandangi Alka yang masih memegangi gitar miliknya “I don’t know Al, kasih gua waktu buat ngejawab pertanyaan lo, bisa?”
Alka mengangguk “Ya udah Re, gua balik ke tenda dulu, tapi jangan lama-lama ya Re ngejawab ya.”
Siang hari nya saat pendakian ke Curug Cibeureum…
Rere berjalan bersama Alka,  dibelakang Felli dan Haris teman sekelas nya yang juga anggota ekskul PMR.
Alka berjalan disamping Rere sambil mendendangkan lagu milik Glenn Fredly yang tadi ia nyanyikan untuk Rere. Rere hanya terdiam sambil terus mendengarkan Alka yang selalu mengulang lagu yang sama.
“Al ganti lagu dong, dari camp ground sampai sini lagu itu terus yang lo nyanyiin,” Rere menghentikan langkah nya.
Alka tersenyum “Gua enggak akan berhenti nyanyi lagu itu sebelum lo jawab pertanyaan gua,”
Rere melanjutkan langkah nya sambil berpikir, sebenarnya sedikit demi sedikit Rere juga sudah mulai merasa nyaman sekali dengan kehadiran Alka, sifat Alka yang humoris dan ceplas ceplos membuat hari-hari Rere menjadi lebih berwarna, Rere juga begitu menikmati kehadiran Alka disaat ia sedang ada kegiatan rutin ekskul yang ia ikuti, Rere tidak tau pasti apakah rasa itu yang disebut dengan sayang, yang jelas ia hanya merasa nyaman jika didekat Alka, tertawa sampai puas bersama Alka, dan berdebat mengenai kenapa Alka begitu menyukai karakter kartun looney tunes Bugs Bunny yang membuat Rere selalu tidak bisa menyembunyikan senyum nya jika ia mengingat hal itu.
“Oke, gua jawab sekarang pertanyaan lo,” Rere menghentikan lagkah nya lagi.
Alka memasang wajah antusias,,,,
“Al, gua belum nemu alasan yang bisa ngebuat gua bilang ke lo bahwa gua juga sayang sama lo, tapi satu yang pasti gua selalu ngerasa nyaman kalau ada lo disekitar gua, dan kita jalani aja dulu, sesuai permintaan lo,” jawab Rere.
“Makasih Re, gua bakalan berusaha enggak akan bikin lo kecewa dan nyakitin hati lo, gu bakalan berusaha untuk itu Re,” ucap Alka.
Malam terakhir di camp ground Cipelang di tutup dengan musikalisasi puisi yang sangat indah dari para anggota baru ekstra kurikuler Seni. Semester ganjil dikelas sebelas ditutup Rere dengan menerima cinta Alka, hari-hari berikutnya berjalan dengan sangat cepat. Rere dan Alka tidak pernah bersama di saat jam sekolah, walau mereka satu kelas tapi mereka selalu bisa menjaga jarak ketika di jam sekolah, waktu yang mereka habiskan bersama adalah di saat jam pulang sekolah atau saat ada kegiatan ekstra kurikuler.  Alka menyayangi Rere dengan begitu sempurna, Alka rela menunggu Rere sampai jadwal latihan PMR nya selesai hanya untuk mengantar Rere pulang, tidak pernah sedikit pun Alka meminta imbalan atas apa yang ia lakukan untuk Rere, tak pernah sehari pun Alka lewatkan tanpa memberi Rere origami bangau yang ia buat ketika jam istirahat. Rere begitu amat menyayangi Alka, buat Rere Alka adalah cinta pertama nya yang begitu indah, tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benak Rere untuk mengakhiri hubungan nya dengan Alka apapun yang terjadi, walau tak jarang mereka terlibat pertengkaran yang membuat Rere lelah, namun itu semua tertutupi dengan sikap manis Alka yang menyenangkan, Alka adalah udara pagi yang murni, menyejukkan dengan semua embun yang membasahi ranting-ranting bambu di tepi sungai, begitu amat indah. Alka adalah hujan di akhir musim kemarau yang sangat dirindukan, Alka adalah semua yang dibutuhkan Rere selain orangtua, kakak, dan sahabatnya. Bersama Alka, tidak pernah terlintas di benak Rere hal apakah yang akan membuat nya berpisah dengan Alka, sampai pada empat bulan setelah satu tahun hubungan mereka.

Alka, Rere First Anniversary…
Rere dan Alka berada di sebuah restoran cepat saji di salah satu plaza di daerah Tangerang. Hari ini adalah anniversary pertaa bagi mereka. Alka memberikan Rere sebuah kado yang sangat diinginkan Rere, sebuah buku catatan dengan cover Harry Potter dan sebuah miniature kecil Daniel Radclief yang berperan sebagai Harry Potter membawa sebuah tongkat sihir, dari bentuk nya Rere bisa mengetahui miniature Harry Pooter itu adalah salah satu adegan di film ke empat yang berjudul Harry Potter and The Goblet of Fire, dimana Harry mengikuti the  Triwizard Tournament yang diadakan di sekolah sihir Hogwarts, miniature itu merupakan adegan dimana Harry melawan naga Hungaria di tantangan pertama. Rere sangat amat menyukai semua film yang diangkat dari novel karya J.K Rowling itu, beberapa novel nya sudah Rere baca yaitu novel di tahun pertama, ketiga dan keenam Harry bersekolah di Hogwarts, bagaimana mungkin J.K Rowling bisa menciptakan berbagai macam karakter hebat di novel karya nya, mantra-mantra hebat seperti Expecto Patronum atau Sectumsempra yang dipakai Harry ketika menghadapi Draco di buku ke enam, atau memunculkan nama-nama hebat seperti pendiri asrama Gryfindor, Godric Gryfindor, bahkan memunculkan bahasa Parseltounge, bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan ular, itu Harry lakukan saat tahun kedua nya bersekolah, semua itu seolah-olah nyata jika kau hanyut dalam novel nya, brilliant begitulah kira nya gambaran untuk J.K Rowling.
Sementara itu Rere menghadiahi Alka sebuah Mug ukuran besar yang berbentuk kepala Bugs Bunny, si kelinci dalam kartun looney tunes yang ssedang memperlihatkan kedua gigi nya yang besar. Entah mengapa seorang laki-laki seperti Alka bisa begitu menyukai karakter Bugs yang usil di kartun looney tunes, Alka bilang, Bugs itu menyenangkan walau dia usil, Bugs adalah kelinci yang pantang menyerah dan tak pernah putus asa, begitu mengapa ia menyukai si kelinci jail itu.
Begitulah mereka melewatkan hari jadi hubungan mereka, dengan saling bertukar kado satu sama lain. Sampai di kejadian yang membuat Rere berpikir untuk melepaskan Alka, empat bulan kemudian, yaitu di bulan Maret, adalah hari yang tak pernah Rere lupakan selama ia hidup, malam itu ada sebuah berita yang sangat amat buruk, malam itu kakak Rere yang sedang berkuliah di salah satu Universitas Negeri di Jakarta mengalami kecelakaan motor, dan nyawa tidak bisa tertolong, pagi dini harinya orangtua Rere memutuskan untuk memakamkan jenazah kakanya di daerah asal orang tua Rere. Rere memberitahu Alka perihal itu, tengah malam nya sebelum keberangkatan Rere dan orang tua nya, Alka menyempatkan diri untuk datang ke Rumah Sakit Umum Tangerang, menemani Rere yang hanya terdiam saat melihat tubuh kaku kakak nya di dalam peti mati.
Tujuh hari setelah kepergian kakanya, orangtua Rere memutuskan untuk pindah ke Semarang setelah Rere selesai mengikuti Ujian Nasional, agar bisa lebih dekat dengan makam kakak Rere, Rere hanya bisa pasrah dan mengikuti semua rencana orangtua nya, karena ia pun juga tidak ingin terlalu jauh dengan kakak nya. Rere harus mengubur dalam-dalam keinginanannya untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Negeri favofitnya, memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Alka yang sudah hampir berjalan selama satu setengah tahun, ia tidak tau harus bagaimana mengatakannya kepada Alka.
Hari pertama Rere masuk sekolah setelah tujuh hari ia Absen, ia berniat untuk membicarakan hal tersebut dengan Alka, ia sudah siap dengan semua resiko yang akan ia hadapi.
“Hi,, my Bugs,” sapa Rere menghampiri Alka yang sedang duduk di depan ruang kelas mereka “Do you miss me?”
Alka tertawa “Of course, I miss you so bad you know, seven days without you is not easy for me honey,”
Bagaimana mungkin Rere akan memberitahu Alka jika ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Alka, melihat senyum Alka saja Rere sudah tidak tahan jika harus menyakiti Alka, “Oh my god, I’m really, really love him, I cannot tell him,” batin Rere di dalam hati.
Rere menghela nafasnya panjang, membuat Alka memasang wajah khawatir yang terkesan curiga “Al, ada hal penting yang harus gua omongin sama lo,” Rere mulai menjelaskan perihal ia yang akan segera pidah ke Semarang setelah Ujian Nasional selesai dan tentang ia yang ingin mengakhiri hubungannya dengan Alka, Alka tidak berkata apapun saat Rere menjelaskan alasannya mengapa ia menginginkan putus.
“Kita kan tetap bisa ngejalanin hubungan jarak jauh Re, enggak perlu putus begitu aja kan,” tanggap Alka.
“Tapi Al, Long Distance Relationship itu hanya menunda waktu, banyak orang yang ngejalanin LDR yang akhirnya putus dengan cara yang lebih menyakitkan,” Rere mencoba menyakinkan Alka.
Alka menatap mata Rere dan menggenggam tanga Rere erat sekali “Dengerin gua baik-baik ya Re, enggak akan  hal yang bisa bikin kita putus kecuali karena emang salah satu diantara kita udah enggak punya perasaan sayang lagi, ingat itu Re,” Alka melepaskan genggaman tangannya dan pergi meninggalkan Rere.
Rere menutup wajah nya dengan kedua telapak tangannya “Al, gua juga enggak pernah mau mengakhiri hubugan kita, gua terlalu sayang sama lo, tapi gua juga enggak bisa ngejalani LDR itu enggak akan berhasil Alka,”
Hari-hari berikutnya tepat satu bulan sebelum Ujian Nasional tingkat SMA berlangsung, hubungan Rere dan Alka mejadi semakin tak tau arah, semua pesan yang Rere kirimkan untuk Alka tidak satupun dibalas Alka, di sekolah pun mereka tak pernah lagi saling bertegur sapa, Rere pernah menghampiri Alka yang sedang duduk termenung di lapangan basket sekolah, namun Alka menjauh dan pergi, Alka sepertinya masih belum bisa menerima apa yang menjadi keputusan Rere, hal itu membuat Felli menjadi curiga.
“Re, lo putus ya sama Alka?” Felli bertanya kepada Rere saat jam istirahat sekolah.
Rere menggeleng “Enggak tau deh Fell, Alka tiba-tiba ngejauh dari gua,”
Felli bertanya lagi “Lo udah bilang sama Alka soal rencana lo pindah ke Semarang dan lo yang pengen putus sama dia?”
Rere hanya mengangguk,,,
“Re, Alka tu terlalu sayang sama lo, dia enggak rela jika harus ngeakhirin hubungan yang udah dia jalani selama satu setengah tahun, satu setengah tahun itu bukan waktu yang singkat Reira, lo harus nya ngertiin alasan nya dia.”
“Iya tapi gua harus gimana Fell, LDR itu hanya menunda waktu lo untuk mengakhiri sebuah hubungan, dan gua pengen kalau gua sampai putus sama Alka, itu dengan cara baik-baik, dan lo juga tau kan gimana gua sayang sama Alka.”
“Lo terlalu takut dengan bayangan lo sendiri Re, lo bahkan udah mengira-ngira hal yang belum tentu akan terjadi, ya tapi semua keputusan lo, gua harap itu adalah keputusan terbaik buat lo dan juga Alka, jangankan Alka yang sayang banget sama lo, gua aja enggak rela kalau lo harus pindah ke Semarang,” ucap Felli.
Mungkin benar apa yang dikatakan Felli, Rere terlalu takut dengan bayangan nya sendiri, ia terlalu takut akan hal-hal yang bahkan belum tentu akan terjadi.
Hari demi hari Rere merasa makin jauh dengan Alka, tidak ada perubahan dalam sikap Alka, ia makin terkesan begitu dingin, berbeda jauh dengan Alka yang selama ini ia kenal, Rere merindukan Alka, sangat amat merindukan sifat humoris Alka dan semua perlakuan manis Alka, tapi satu hal yang tidak pernah berubah, Alka masih tetap memberikan Rere origami bangau yang ditaruh nya di meja Rere.
Hari terakhir Ujian Nasional…
Rere tidak langsung pulang setelah ujian nya berakhir, ia memutuskan untuk tetp berada di sekolah sampai sore hari, Rere duduk sendiri di bangku dekat lapangan basket sekolah nya, memandangi lapangan basket yang perlahan mulai sepi,,,
“Re,” suara seseorang mengagetkan Rere, Rere menoleh ke tempat suara tersebut berasal,
“Al, belum pulang?” Rere langsung berdiri dari tempat ia duduk.
Alka duduk disamping Rere menarik tangan Rere dan menyuruhnya untuk duduk lagi “Jadi pindah ke Semarang kapan Re?” Alka memulai pembicaraan.
“Besok sore Al,”
“Maafin gua Re karena terlalu egois, maaf karena beberapa hari kemarin gua bersikap cuek, andai hari-hari kemarin bisa ke ulang lagi Re, gua bakal bikin kenangan yang paling indah buat lo, maafin gua ya Re.”
Rere memandang wajah Alka dengan mata berkaca-kaca “Al, satu setengah tahun itu berarti banget buat gua, Al gua pengen putus bukan karena gua enggak sayang sama lo, justru karena satu setengah tahun itu terlalu berarti maka nya gua pengen kita putus bukan dengan cara yang menyakitkan, akan lebih baik jika kita putus disaat kita masih saling sayang, itu enggak akan ngebuat kita jadi saling benci,”
Alka membelai rambut Rere yang terurai “Re, lo adalah orang yang paling susah buat ngubah pendirian lo, dan sekarang apapun keputusan lo gua bakal terima, tapi dengan satu syarat,”
“Apa syarat nya Al?”
“Jangan pernah ganti nomor handphone lo, oke?”
“Cuma itu?”
Alka mengangguk “You always be my first, you know that,”
Empat tahun sudah berlalu…
Rere berada disebuah kedai kopi di salah satu mall di Semarang, lagu Kasih Putih milik Glenn Fredly mengingatkannya akan Alka yang mengungkapkan perasaan nya di tempat yang begitu indah di Cipelang, Rere tersenyum kecil mengingat kisah nya bersama Alka, bersama cinta pertama nya, “Andai aku di beri kesempatan untuk bertemu mu lagi Al, aku akan meminta maaf karena telah mengingkari janji ku”, batin Rere “Bagaimana keadaan mu sekarang, empat tahun berlalu, bahkan belum ada lagi kisah cinta ku yang sebaik saat bersama mu,”  Kau tau seperti apapun kisahnya, bagiku cinta pertama tetaplah indah, tidak akan pernah ada habisnya untuk dikenang, walau itu berakhir dengan suka ataupun duka, dengan senyum ataupun air mata, cinta pertama tetaplah yang pertama, karena sebelumnya tidak ada orang lain selain ia.

                                                                                                            Based on my true story…
                                                                                                            --The End--













Jumat, 11 Juli 2014

Secangkir Arabica Untuk Naura



-Secangkir Arabica Untuk Naura-

“Dinno, dimana kau sekarang bisakah kah kau menjemputku, aku tidak bisa mengemudi dengan keadaan seperti ini” suara Naura ditelepon,
“Kau mabuk lagi?”, tanya Dinno…
“Sudahlah, jangan banyak tanya, perutku mual sekali, cepat jemput aku ditempat biasa, cepat jemput aku Dinno”, teriak Naura dari telepon..
“Kau ini, menyusahkan sekali Naura, harusnya kau tidak usah minum jika kau mengemudi, tunggu sebentar, diam ditempatmu jangan berulah” Dinno menutup telepon dari Naura…
            Naura, adalah seorang wanita berusia dua puluh lima puluh tahun, enam bulan lalu ia mengalami kejadian yang membuatnya berada dalam titik terendah di kehidupannya, bagaimana tidak Ayah nya yang selama ini ia kagumi dan ia hormati, memiliki wanita simpanan yang usianya sama seperti usia Naura saat ini, dan yang paling parah Ayahnya itu lebih memilih hidup bersama wanita barunya itu, meninggalkan Naura dan Ibunya. Ibunya tidak tahan melihat sikap Ayahnya yang begitu menjijikkan itu, Ibu Naura deperesi berat sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara meminum cairan pembersih lantai, Naura sudah kepalang benci dengan Ayahnya, Naura benci karena Ayahnya menjadi sebab mengapa Ibunya memilih bunuh diri, dalam hati Naura, ia sudah enggan memanggil laki-laki itu dengan panggilan Ayah, tidak ada Ayah yang memilih meninggalkan anaknya demi wanita lain yang seumuran degan anaknya sendiri, kini Naura hidup bersama Kakek dari Ibunya, ia dirawat oleh Kakeknya yang seorang pensiunan jendral, Naura enam bulan lalu, bukanlah Naura yang seperti sekarang ini, Naura sekarang menjadi sering pergi ke klub malam untuk sekedar minum sampai mabuk  jika ia sedang dilanda stress, dulu ia adalah wanita yang anti dengan gemerlap dunia malam, kini Naura menjadi akrab dengan gemerlap dunia malam itu, hanya saja Naura tidak datang ketempat seperti itu untuk dugem dan bersenang-senang dengan laki-laki, ia datang hanya untuk sekedar duduk dan memesan minuman, ia selalu menolak ajakan laki-laki atau om-om yang menggodanya, bahkan Naura pernah memukul kepala seorang pria seumuran dengan Ayahnya menggunakan gelas minumannya, Naura tentu punya alasan untuk itu, pria itu tidak hentinya menggoda Naura, mengajak naura ke hotel, dan banyak lagi, Dinno harus berurusan dengan pihak keamanan klub demi Naura, bahkan kakek Naura sampai harus mengeluarkan uang yang lumayan besar nominalnya untuk membayar ganti rugi biaya rumah sakit si pria itu tadi, kakek Naura sudah tidak tau harus bagaimana lagi menghadapi cucu perempuannya itu, kakeknya kini hanya membiarkan Naura, membiarkan Naura sampai ia sendiri sadar bahwa perbuatannya itu salah, bahwa tidak seharusnya ia mencari pelampiasan dengan cara seperti itu. Naura Intan Maheswari, adalah wanita cantik yang tidak senang berdandan, ia memiliki rambut hitam pendek model pixie, ia juga memiliki tato bertuliskan namanya Naura I. Maheswari dilengan kirinya.
            Dinno berlari keluar dari kafe miliknya, menghetikan sebuah taksi yang lewat didepan kafe,,,,
Dinno, adalah teman Naura sejak SMP, mereka berdua sangat akrab seperti layaknya kakak dan adik, jika mereka sedang hang out berdua tak jarang malah ada saja mengira mereka adalah sepasang kekasih. Ayah Dinno adalah Dosen disalah satu Universitas Islam Swasta dikotanya, Ibunya memiliki usaha toko roti buatan sendiri, namun sekarang Dinno sudah tidak memiliki Ayah, Ayah Dinno meninggal tiga tahun lalu karena serangan jantung, kini ia hanya hidup dengan Ibu dan seorang adik laki-lakinya. Dinno memiliki sebuah kafe yang pelanggannya sudah lumayan banyak, ia mendirikan kafe itu dengan modal yang diberikan Ayahnya saat Ayahnya masih hidup, Dinno menjalankan kafe miliknya sendiri sudah sejak ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Dinno adalah laki-laki yang lumayan tampan, Dinno memiliki bola mata besar, alis hitam tebal, hidung mancung, rambut berpotongan spikey yang rapi, dan terlebih ia adalah laki-laki yang tau segala sesuatu tentang Naura.
Dinno sampai di klub yang sering didatangi Naura, menghampiri Naura yang sedang duduk di meja bar, menggoyang-goyangkan gelas yang sedang ia pegangi dengan tangan kanan nya.
“Sudah cukup kau minum,” Dinno mengambil gelas Naura,
“Kenapa lama sekali kepala ku sangat pusing kenapa kau baru datang?” Naura memandangi Dinno yang sedang duduk di samping nya,
“Kenapa lagi kau, habis berapa gelas kali ini, kau masih memikirkan ayah mu?” Dinno mengguncang-guncangkan pundak Naura dengan kedua tangannya,
“Tidak, untuk apa aku memikirkan si brengsek itu, aku baru saja di sumpah serapahi oleh seorang laki-laki, lagi” Naura menyinggkirkan tangan Dinno dari pundaknya,
“Sumpah serapah, seperti itukah kau? Hanya karena disumpahi seorang laki-laki kau berbuat seperti ini, bukankah kau bilang kau sudah biasa dengan hal seperti itu, bukankah kau bilang kau tak mau memikirkan hal itu, lalu apa yang kau lakukan sekarang?, lihatlah diri mu sekarang Naura, kau berantakan” Dinno meneriaki Naura yang menatapnya dengan tatapan kosong,
“Bisakah kau tidak meniriaki ku Dinn,” mata Naura berkaca-kaca “Baru kali ini aku melihatmu begitu marah, ini melebihi saat aku memukul seorang brengsek beberapa bulan lalu” imbuh Naura yang diikuti dengan tetesan air mata yang segera ia sapu dengan telapak tangannya,
“Maaf Ra, aku hanya tidak ingin kau seperti ini terus” Dinno mengusap air mata Naura, “Ayo kita pulang, dimana kunci mobilmu?” tanya Dinno, Naura mengambil kunci mobilnya didalam tas memberikannya pada Dinno,
“Dinno, kepala ku begitu sakit” Naura memegangi kepalanya,
“Sini aku bantu berjalan” Dinno melingkarkan tangan Naura di pundaknya, berjalan keluar dari ruangan yang begitu ramai itu.
Perjalanan pulang di dalam mobil Naura…
Naura tertidur di kursinya, sesekali ia mengigau tidak jelas mungkin karena ia masih dibawah pengaruh alcohol yang diminum nya tadi. Dinno menyetir dengan tenang sambil sesekali memandangi wajah Naura yang terlihat begitu lelah, lelah akan kebencian yang ia pendam dalam hati nya, lelah akan semua sumpah serapah yang ia dapatkan dari laki-laki yang ditolaknya. Pertanyaan yang selalu muncul di benak Dinno, jika laki-laki itu memang menyukai Naura, kenapa mereka harus menyumpahi Naura ketika di tolak, bukankah itu adalah hak Naura mau menerima nya atau tidak.
“Dinn, jangan antar aku pulang kerumah eyang, beliau bisa marah jika aku pulang dengan keadaan seperti ini” Naura mengagetkan Dinno yang sedang berkonsentrasi menyetir,
“Aku tau Ra, aku tau itu” Dinno melirik Naura yang ternyata masih memejamkan matanya. Dalam kondisi seperti itu biasa nya Naura memang tidak berani pulang kerumah eyang nya, eyang nya bisa murka dengan Naura, dan jika kondisi Naura seperti itu maka Dinno akan mengajak Naura ke rumah orang tua nya, membiarkan Naura tidur di kamarnya selama satu malam, Ibu Dinno pun sudah terbiasa dengan keadaan Naura yang seperti sekarang ini, Ibu Dinno paham betul dengan keadaan Naura saat ini.
Keesokan harinya, Minggu, 08.00…
Naura membuka matanya, melihat sekeliling sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. “Oh, God… anak gila ini, kenapa dia mengajak ku pulang kerumah orang tua nya lagi” Naura menggumam,
“Kau sudah bangun tukang mabuk, kau tidur seperti orang mati tau” Suara Dinno mengejutkan Naura,
“Kau, kenapa kau terus membawa ku pulang ke rumah orang tua mu ketika aku mabuk” Naura melempar bantal kearah Dinno yang sedang berdiri disamping tempat tidur,
“Bukankah semalam kau sendiri yang bilang kalau kau tidak mau pulang kerumah eyang mu?” Dinno mengambil bantal yang di lempar Naura tadi,
“Tapi jangan bawa aku ke sini, aku malu dengan Ibu mu Dinno, bagaimana jika Ibu mu tidak mau kau berteman lagi dengan ku” Naura memukul Dinno
“Kau kan bisa mengantar ku apartement miliki Almarhumah Ibu ku” tambah Naura,
“Dan meninggalkan mu sendirian di apartement itu, kau ingat Naura, terakhir kali aku mengantar mu ke apartement itu, tengah malam kau malah menelpon ku dan meminta ku untuk menemani mu, karena kau tidak bisa tidur” kata Dinno.
 Naura terdiam, ia memang masih belum lupa dengan kejadian enam bulan lalu itu, dan di apartement di daerah Semarang atas itulah tempat dimana Ibu nya ditemukan sudah tidak bernyawa, apartement itu kini ia biarkan kosong, tidak ia sewakan atau menjual nya kepada siapa pun karena apartement itu hanyalah satu-satunya yang tertinggal dari Ibu nya, sesekali Naura datang untuk hanya sekedar membersihkan apartement itu, terlalu lama di apartement Ibu nya hanya akan membuatnya makin benci dengan Ayah kandung nya sendiri.
“Sudahlah Ra, cepat mandi dan sarapan Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk mu dan juga aku, ganti pakaian mu kau bau alcohol ” Dinno memberikan t-shirt berwarna putih miliknya dan juga rok pendek selutut berwarna hijau tosca milik Ibunya.
 Naura menerima t-shirt dan rok yang diberikan oleh Dinno, entah ada berapa t-shitr Dinno yang ia simpan di rumah eyang nya, Naura selalu memakai t-shirt Dinno jika ia menginap di rumah orang tua Dinno, dan lucu nya Naura tak pernah mau mengembalikan t-shirt yang sudah di pinjamkan Dinno untuknya dan Dinno pun tak pernah mau meminta t-shirt itu kembali.
Tiga puluh menit kemudian…
Naura menghampiri Dinno yang sedang sibuk di dapur milik Ibu nya…
“Kau sedang membuat apa Dinn? Aroma nya begitu memikat,” tanya Naura,
“Ini Arabica, kau mau biar aku buatkan” Dinno melirik Naura yang sedang mengeringkan rambut basah nya dengan handuk kecil, sejenak pandangan Dinno terhenti ia memandangi Naura
“Kau terlihat begitu indah mengenakan itu Ra, berbeda jauh dengan diri mu yang sekarang, aku seperti melihat Naura yang dulu, Naura yang penuh dengan kesederhaan dan keceriaan” kata Dinno dalam hati,
“Dinn,,,, Dinno jangan bengong seperti itu” Naura memukul Dinno dengan handuk yang ia bawa.
 Dinno terkejut dan segera memalingkan wajah kembali sibuk dengan Arabica yang ia buat tadi,
“Buatkan aku satu juga ya pak Dinn” Naura melingkarkan tangannya di pundak Dinno,
“Berhentilah berbuat seperti aku ini adalah suami mu Ra, lepaskan tangan mu dari pundak ku” Dinno setengah berteriak, Naura buru-buru melepaskan tangan nya dan berjalan menuju meja makan yang di atas nya sudah tersaji beberapa jenis masakan.
“Ini, minumlah selagi masih hangat,” Dinno menaruh segelas kopi Arabica hitam di samping tangan kanan Naura, “kenapa kau terus- menerus menolak laki-laki yang mendekati mu, apa kau tidak mau punya pacar dan segera menikah?” tanya Dinno,,,
“Kau tau Dinn, mereka semua itu sama seperti ku, mereka senang mabuk, mereka semua itu,,, mengatakan hal yang sama pada setiap wanita yang mereka temui, dan aku,,, aku tidak mau menyerahkan masa depan ku kepada laki-laki seperti itu,” jawab Naura
“Walaupun mereka kaya dan mempunyai jabatan, setau ku laki-laki yang mendekati mu rata-rata mereka sudah mapan secara materi” Dinno mengambil gelas yang berisi air putih di depannya…
“Walaupun mereka kaya, aku tidak butuh semua materi yang mereka punya Dinn, yang Ibu tinggalkan untuk ku sudah lebih dari cukup untuk ku menghidupi diri ku sendiri”, jelas Naura.
“Lalu, kau mau laki-laki seperti apa untuk mendampingi mu Ra?” kata Dinno sambil sibuk mengunyah.
“Seperti mu mungkin,” Celetuk Naura.
Dinno terkejut dengan ucapan Naura tadi, Dinno tau bahwa Naura hanya asal bicara namun di hati nya Dinno berharap bahwa kata-kata Naura tadi memang bersal dari hati terdalam nya. Dinno sebenarnya sudah mulai menyimpan perasaan lebih kepada Naura, perasaan yang bukan perasaan biasa Dinno menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat Dinno mencintai Naura dan menyayangi Naura lebih dari yang Naura ketahui. Dinno tidak tahu persis kapan ia mulai jatuh cinta pada Naura, yang ia tahu perasaan cinta nya mulai muncul saat Naura kehilangan diri nya yang sebenarnya, disaat Naura sedang terlelap tidur di mobil atau di kamar nya, disaat itulah perasaan cinta Dinno semakin bertumbuh tanpa ia bisa mengontrol pertumbuhan perasaannya itu. Namun Dinno tahu tidak mudah bagi seorang Naura untuk menerima laki-laki untuk dicintai nya, untuk mencintai nya, dan untuk menemani nya. Naura semakin sulit percaya kepada laki-laki setelah apa yang Ayah nya lakukan kepada nya dan kepada Ibunya.
“Apa ada yang salah dengan ucapan ku barusan Dinn?” tambah Naura.
Dinno menggeleng, “Cepat habiskan makanan dan kopi mu itu Ra, aku harus segera membuka kafe,” lanjut Dinno.
Naura mengangguk, megikuti perintah Dinno. Naura mengantarkan Dinno ke kafe terlebih dulu sebelum ia pulang. Dinno meninggalkan mobil nya di kafe, karena semalam setelah menjemput Naura, Dinno tak kembali lagi ke kafe nya dan menyuruh pegawai nya menutup kafe.
“Dinn,” teriak Naura dari dala mobil “Terimakasih karena selalu ada untuk ku disaat sulit ku seperti ini, beruntung nya aku memiliki sahabat seperti mu” tambah Naura.
Dinno mencubit pipi Naura, “Pulanglah, hati-hati menyetir”.
“Nanti malam aku akan mampir, buatkan aku kopi seperti tadi ya” pinta Naura.
Dinno hanya tersenyum sambil mengewasi Naura yang mulai mengemudi meninggalkan Dinno.
Minggu malam, 19.15…
Naura berjalan memasuki kafe Dinno yang memiliki interior klasik yang sangat indah. Semua mata memandangi Naura yang sedang melangkah menuju meja tempat pengunjung memesan pesanan mereka, bagaimana tidak Naura datang mengenakan dress panjang warna hitam lengan pendek dengan bagian belakang dress yang terbuka sampai batas pinggang nya, rambut Naura ia ikat menggunakan tusuk konde berwarna merah hati, Naura juga memakai lipstick berwarna senada dengan tusuk konde nya. Naura melangkah menghampiri Dinno yang sedang meracik kopi.
“Good night Erlangga Dinno Mahadika, aku pesan satu gelas kopi hitam Arabica” Naura berdiri di depan meja dimana Dinno sedang meracik kopi.
Dinno terkejut “Kapan kau datang? Mengapa tidak bilang dulu sebelum kau kesini?”
“Sejak kapan pengunjung dikafe mu harus reservasi terlebih dulu?, cepat buatkan aku kopi seperti tadi pagi” Naura berjalan menuju kursi kosong disamping jendela meninggalkan Dinno.
Dinno terkejut sekali lagi melihat pakaian yang Naura kenakan malam ini “Dia, apa dia sudah gila memakai pakaian seperti itu” Dinno menggumam.
Dinno selesai membuat kopi pesanan Naura, Dinno menghampiri Naura yang sedang duduk sendiri dengan tatapan kosong, “Ini kopi mu, dan pakai jaket ini untuk menutupi bagian belakang mu yang terbuka”, Dinno menaruh kopi di meja Naura dan menyerahkan jaket nya.
“Untuk apa aku harus memakai jaket mu? Apa ada yag salah dengan cara ku berpakaian malam ini?” Naura memandangi Dinno dengan tatapan jengkel.
“Pakai jaket itu Ra, semua mata disini terus saja memandangi mu, lihatlah mereka kebanyakan dari mereka itu laki-laki, pakai jaket itu Naura”, kata Dinno sedikit memaksa.
Naura melihat sekelilingnya, “Baiklah akan aku pakai, kau puas?” ucap Naura sambil memakai jaket yang diberikan Dinno.
“Ra, kau tidak bisa terus seperti ini, kembalilah ke Naura yang dulu, Naura yang sederhana, Naura yang tidak pernah membiarkan orang lain menikmati keindahan mu, Naura yang tidak pernah pergi ke klub malam dan mabuk-mabukan, Ra kembalilah ke diri mu yang dulu”, Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
Naura terdiam sambil memandangi segelas kopi yang ada didepannya, “I can’t Dinn, ini semua sudah terlalu jauh, aku sudah tenggelam terlalu dalam, aku tidak bisa kembali ke diri ku yang dulu.”
“Of course you can Ra, ini semua hanya masalah kau mau atau tidak”, Dinno mengenggam tangan Naura “Naura dengar, aku tidak bisa selalu ada untukmu disaat kau membutuhkan ku, Ra cepat atau lambat kita akan sibuk dengan urusan kita masing-masing, dan bagaimana jika kau masih seperti ini sementara aku sudah tidak bisa selalu ada untukmu Ra?”
Naura terkejut “Memangnya kau mau kemana? Kau mau meninggalkan ku?” Tanya Naura serius.
“Sebentar lagi aku akan bertunangan Ra, dengan perempuan yang Ibu pilihkan untuk ku,” ucap Dinno dengan pelan.
Naura melepaskan genggaman tangan Dinno “Bertunangan? Kau serius Dinno, secepat itukah?” ucap Naura dengan suara bergetar.
Hati Naura terasa teriris, sahabat yang selama ini selalu menemani nya akan segera pergi dari nya untuk sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin akan lebih pentig bagi Dinno ketimbang Naura. Naura seperti tidak ingin membagi sahabat baik nya itu kepada siapa pun.
“Iya Ra, aku akan bertunangan.” Wajah Dinno pucat. Dinno seperti berat sekali menyampaikan kabar itu kepada Naura.
Dinno belum siap jika harus mempuyai jarak dengan Naura, dan tidak akan pernah siap. Dinno sudah mulai menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat, ia sudah mulai mencintai Naura dengan setulus hatinya.
Naura bangkit dari kursi nya, “Aku harus pulang Dinn, maaf” Naura melepas jaket milik Dinno dan menaruhnya di sandaran kursi yang ia tempati tadi, pergi meninggalkan Dinno tanpa kata lain selain “maaf”.
Naura menyetir dengan hati yang tengah kacau, mata nya berkaca-kaca ia rasanya ingin segera sampai ke rumah dan berbaring di kamarnya, menangis tanpa ada orang yang megetahui nya.
Keesokan hari nya…
“Naura, kamu ndak kerja ini sudah siang nduk”, Kakek Naura mengetuk pintu kamar Naura.
Naura bangun dari tempat tidur nya, berjalan menuju pintu kamarnya “Naura lagi ndak badan eyang, Naura ingin istirahat saja dirumah” ucap Naura dengan lembut.
“Ya sudah kalau ndak enak badan kamu istirahat di rumah, tapi cepat sana mandi, si mbak sudah meyiapkan sarapan” ucap kakek Naura.
Naura hanya mengangguk sambil tersenyum, ia kembali masuk ke kamar nya duduk di depan cermin meja rias nya. Naura memandangi diri nya di cermin yang tampak kacau, mata nya begitu sembab dan hati nya masih juga belum membaik. Naura mengambil handphone yang ia taruh di meja rias nya. Lima belas panggilan tak terjawab: Dinno Mahadika. Naura menaruh handphone nya kembali, berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar tidur nya.
“Eyang, bagaimana jika kita pindah rumah saja? Kita pindah ke rumah eyang di Surabaya, bagaimana eyang?” Tanya Naura dengan tatapan serius.
“Kamu ini aneh-aneh saja, apa alas an mu meminta pindah rumah Naura bukankah kamu disini sudah punya karir yang bagus?” jawab kakek Naura lembut.
Naura terdiam, ia sendiri tidak tahu apa alasannya meminta pindah rumah. Ia hanya berpikir jika ia tidak mampu merelakan Dinno di miliki orang lain, maka ia harus berada jauh dari Dinno, sejauh yang ia bisa agar ia tidak selalu bergantung pada Dinno.
“Mungkin kalau pindah rumah, Naura akan berhenti pergi ke klub malam lagi eyang, Naura ingin lingkungan baru lingkungan yang bisa membuat Naura melupakan apa yang Naura alami, dan menjadi Naura yang baru”, jawan Naura meyakinkan kakek nya.
Kakek Naura menghela nafas panjang, “Baiklah, jika memang itu alasan mu eyang hanya mau kau bahagia tapi selagi itu positif untukmu, jika kamu pindah urus semua urusan mu terlebih dulu di sini.”
Naura tersenyum “Terimaksih banyak eyang, Naura akan segera menyelesaikan urusan Naura.”
Dua hari kemudian…
Setelah menyerahkan surat pengunduran diri nya dari perusahaan tempat Naura bekerja. Naura menyempatkan diri untuk ke makam Ibu nya dan mampir sebentar ke apartemen milik Ibu nya. Naura berdiri di balkon apartemen, memandagi layar handphone nya, sudah dua hari Naura mengacuhkan semua pesan dan panggilan masuk dari Dinno, ia harus bertemu dengan Dinno sebelum kepindahannya ke Surabaya ia harus menyelesaikan urusannya dengan Dinno.
Malam harinya, 20.00…
“Bisa datang kesini sebentar ada yang ingin kubicarakan, aku sedang di klub yang sering ku datangi”, Naura berbicara di telepon.
“Baiklah Aku akan segera kesana, aku juga ingin bebicara dengan mu”, sahut Dinno.
Naura tidak berbicara lagi, ia langsung menutup telepon nya dan kembali menenggak minumannya.
Tiga puluh menit kemudian, 20.30…
Dinno sampai di klub  favorit Naura, “Kenapa kau tidak menjawab panggilan dari ku, tidak membalas pesan ku, dan kenapa kau tidak mengabari atau datang ke kafe ku?”
“Kau sendiri, apa kau datang ke rumah ku? Ke kantor ku? Atau ke apartemen ku?”
“Naura, kau tau bagaimana khawatir nya aku akan keadaan mu sekarang yang makin bertambah buruk?” Dinno setengah berteriak.
“Kau sendiri, apa kau tau bagaimana aku sulit menerima kenyataan bahwa sebentar lagi kau akan menjauh dari ku, aku tau mungkin egois Dinn, tapi adakah yang salah dengan ku, aku sudah terbiasa dengan kehadiran mu, kita sudah saling mengenal sejak SMP.” Naura meneteskan air matanya lagi, lalu melingkarkan kedua tangan nya dileher Dinno, “Maaf jika aku terlalu egois, selamat atas rencana pertunangan mu, semoga kau selalu diberi kebahagiaan bersama calon istri mu nanti,” Naura lantas mencium kening Dinno dan pergi meninggalkan Dinno terdiam setelah mendengar perkataan Naura.
Esok paginya, 06.30..
Naura berada di depan pintu rumah orang tua Dinno, membawa papper bag ukuran sedang yang berisi semua t-shirt Dinno. Naura mengetuk pintu, tidak berselang lama, seorang wanita yang seumuran dengan almarhum Ibu nya membuka pintu, wanita itu masih terlihat canti di umurnya yang hamper separuh abad, wanita itu terlihat begitu anggun mengenakan blouse warna peach dan rok spam warna hitam panjang.
“Naura,” sapa wanita itu “Ada apa pagi-pagi sekali kesini, sebentar ya tante bangunkan Dinno dulu.”
Naura meraih tangan Ibu Dinno “Enggak usah tante, Naura Cuma mau nitipin ini ke tante,” Naura menyerahkan papper bag yang ia bawa.
“Apa ini Ra?” Tanya tante Mela, Ibunda Dinno.
“Itu semua t-shirt nya Dinno yang Naura pinjam tante,” Naura tersenyum.
“Kamu lagi enggak berantem sama Dinno kan Ra? Kamu sama Dinno baik-baik saja kan?” tante Mela membelai rambut Naura lembut.
“Enggak kok tante, Naura sama Dinno baik-baik saja, walaupun berantem paling Cuma masalah kecil, lagipula Naura enggak enak hati kalau membangunkan Dinno Cuma karena Naura mau mengembalikan t-shirt nya Dinno,” jelas Naura “Oh iya tante, terimakasih banyak karena tante selalu mengizinkan Naura menginap disini, maaf kalau seandainya ada perilaku Naura yang membuat tante dan Dinno merasa terganggu.”
Tante Mela tersenyum “Kamu ini Ra, kamu itu kan sahabat Dinno sejak dari kecil mana mungkin tante merasa terganggu, tante Cuma ingin hubungan kamu sama Dinno baik-baik saja.”
Naura mengangguk dan membalas senyuman tante Mela “Ya sudah tante, Naura enggak bisa lama-lama, sudah ditunggu eyang di rumah, Naura pamit tante.”
07.45…
Naura berada di dalam mobil travel yang akan membawa ia dan kakek nya menuju Surabaya. Naura tak kuasa menahan air mata nya, ia harus meninggalkan kota kelahiran nya, meminggalkan semua kenanangan manis bersama almarhumah Ibu nya, dan kenangan empat belas tahun persahabatnya dengan Dinno, Naura kini semakin yakin dengan apa yang dirasa nya, ia bukan hanya menyayangi Dinno sebagai sahabat, ia menyayangi Dinno lebih dari itu, dan ketika Naura sadar akan perasaannya, ketika itu pulalah ia harus mengalah, ia harus menyerahkan Dinno kepada orang lain, kepada perempuan yang jauh lebih baik dari diri nya, kepada perempuan yang jauh lebih pantas untuk Dinno.
Sore harinya, di kediaman orang tua Dinno…
“Ini apa bungkusan apa Bu?” Tanya Dinno sambil menunjukan papper bag berwarna cokelat tua yang tadi pagi di bawa Naura.
“Itu tadi dari Naura, isi nya t-shirt kamu yang dipinjam Naura, tadi Naura menitipkan itu sama Ibu”, jelas Ibu Dinno.
Dinno kembali ke kamar tidur nya, ia penasaran kenapa Naura tiba-tiba mengembalikan semua t-shirt nya yang dipinjam Naura, padahal Dinno sama sekali tidak pernahh meminta nya. Dinno mengambil handphone milik nya, mencari nama Naura Maheswari di daftar panggilan keluar di handphone nya, “Nomor yang anda tuju berada di luar service area” Dinno langung melempar handphone nya ke tempat tidur, “Apa-apaan ini, kenapa nomor nya selalu tidak bisa dihubungi sejak kemarin, apa yang terjadi sebenarnya dengan mu Naura.”
Dinno membuka papper bag nya, ia menemukan secarik kertas yang dilipat menjadi tiga bagian, ia lalu membuka dan membaca tulisan yang ia hafal betul siapa pemilik tulisan itu.
Erlangga Dinno Mahadika…
Empat belas tahun kita bersahabat bukan, kau tau adalah hal menyenangkan karena telah melewatkan empat belas tahun kehidupan ku bersahabat dengan seorang seperti mu. Menyenangkan karena kau selalu saja ada untuk ku bahkan di saat teburuk ku sekalipun. Dinno, maaf akan perkataan ku kemarin malam, aku sadar aku terlalu egois, dan kini aku juga sadar bahwa apa yang membuat ku tidak bisa merelakan mu di miliki orang lain adalah karena aku menyayangi mu, bukan sebagai sahabat lagi, tapi lebih dari itu, dan disaat aku sadar akan itu disaat itu pula aku harus membuang rasa ku itu. Kau tau hal yang paling menyakitakn adalah ketika cinta mu kepada seseorang hanyalah kau yang merasakan, tanpa ada balasan dari orang tersebut, tapi yang paling menyakitkan lagi, adalah ketika kau terlambat menyadari nya, dan walau kau memperjuangkannya itu semua sia-sia karena seorang tersebut akan menjadi milik orang lain dan bukan menjadi milik mu.  Semoga pengakuan ku ini tidak akan berdampak apa-apa bagi mu dan calon istri mu, tidak ada maksud apa-apa dari ku ketika menulis surat ini, aku hanya ingin menyampaikan apa yang aku rasa harus aku sampaikan. Semoga hidupmu selalu di beri kebahagian, di beri limpahan cinta dan kasih dari orang-orang sekitar mu. Cukup ku rasa apa yang ingin aku ungkapkan.
-Naura Intan Maheswari-

Satu tahun berikutnya….
Satu Tahun berlalu, Naura masih ingat betul dengan aroma Arabica yang Dinno buatkan untuk nya di malam dimana ia menyadari akan perasaannya pada Dinno, setiap kali Naura menghirup aroma dari segelas kopi hitam Arabica ia seperti merindukan sosok Dinno, Dinno dan aroma Arabica yang khas sudah menyatu dalam ingatan Naura.
Surabaya, Sabtu, 17.00…
Naura baru samapi dirumah  ketika ia mendengar suara ketukan pintu di kediaman eyang nya.
“Iya, sebentar..” teriak Naura. Naura membukakan pintu, ia terkejut saat mendapati sosok yang berada di hadapan nya kini. Laki-laki dengan tinggi 185 cm, berambut model spikey, dan memakai t-shirt berwarna hitam.
“Hai Ra, terkejut?” sapa laki-laki itu dengan mimic muka datar.
Naura menghela nafas “Dinno, dari mana kau tau alamat rumah ini?”
Dinno tidak menjawab pertanyaan Naura, ia langsung masuk kedalam rumah walau Naura belum mempersilahkannya masuk lalu duduk di kusi ruang tamu, “Satu tahun tanpa kabar, pergi tanpa memberitahu ku, nomor mu yang tidak bisa ku hubungi, email ku yang tidak pernah kau balas walau sudah kau baca, dan hanya meninggalkan secarik surat di hari kepergian mu, siapa kau berani berbuat seperti itu kepada ku, itu semua hampir membuat ku gila Naura.”
Naura menghampiri Dinno dan duduk di samping Dinno “Aku punya alasan untuk semua itu Dinno,” Naura melirik tangan Dinno, tidak ada cincin yang terpasang di jari Dinno, Naura lalu meraih tangan Dinno dan menggenggam nya, “Dimana cincin mu, apa kau belum menikah setelah pertunangan mu?”
“Aku membatalkan pertunangan dan juga pernikahan ku,” ucap Dinno.
“Kau gila, kau membatalkan pertunangan mu dan juga pernikahan mu begitu saja, apa yang ada dalam benak mu Dinno?” Tanya Naura.
Dinno membuka tas ransel miliknya, mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas nya “Berhenti berpura-pura tidak tau Ra,” teriak Dinno “Ini alasan mengapa aku membatalkan pertungan dan pernikahan ku,” Dinno menyerahkan secarik kertas yang mula nya berwarna pure white yang kini berubah menjadi off white.
Dinno menggenggam tangan Naura erat, “Ra, jika kau mencintai ku kenapa kau tidak mengatakan nya langsung kepada ku, kenapa kau membiarkan ku melukai hati mu, dan kenapa kau malah pergi menghilang dari ku? Kenapa Naura?”
Naura menatap mata Dinno “Kau sendiri Dinno, apa kau juga punya rasa yang sama dengan ku? Dan jika iya kenapa kau juga tidak mengatakan nya terlebih dulu? Kenapa harus menunggu aku dulu yang mengatakan nya?”
“Aku bahkan mecintai mu lebih dari yang kau tau Naura, lebih dari seorang sahabat, kenapa aku tidak mengatakannya, karena aku tidak ingin kau menolak ku dan persahabatan kita hancur hanya, aku tidak mau hal itu samapi terjadi, walau kau tidak mencintai ku sekalipun asalkan tetap berada dekat dengan mu itu sudah cukup bagi ku Naura.”
“Kau pengecut Dinno, dan lagipula mau seberapa besar kau mencintai ku dan aku mencintai mu, itu tidak akan berhasil Dinno, tidak akan.” Naura melepaskan genggaman tangan Dinno.
“Kenapa tidak Ra, bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini?” Tanya Dinno.
“Karena aku bukanlah perempuan yang pantas untuk laki-laki seperti mu, kau pantas mendapatkan yang terbaik, yang lebih baik dari ku, dan bukannya seorang perempuan yang hobi nya mabuk seperti ku, aku tidak pantas untuk mu Dinno, tidak akan pernah.” Jawab Naura setengah berteriak.
“Naura, yang tau mana yang terbaik untuk ku adalah diri ku sendiri, bukan kau atau bahkan Ibu ku, tapi aku Ra, aku yang lebih tau apa yang ku inginkan, maaf aku tidak bisa lama-lama disini Ra, jika kau berubah pikiran, kembalilah ke Semarang, temui aku di sana, sama seperti aku yang menemui di sini, aku tunggu kedatangan mu Naura.”  Dinno meninggalkan Naura di ruang tamu sendiri.
Malamnya…
Naura terus saja berpikir mengenai perkataan Dinno tadi sore, ia masih belum bisa menghilangkan rasa tidak percaya nya akan kedatangan Dinno, sudah satu tahun Naura tidak bertemu atau bahkan berkomunikasi dengan Dinno, dan hari ini Dinno datang, hati Naura seperti berbunga kembali, seperti ladang kering yang merindukan hujan.
Naura menghampiri kakek nya yang sedang menonton televisi “Eyang, Naura mau minta izin untuk kembali ke Semarang beberapa hari, ada hal yang harus Naura selesaikan di sana, bolehkah eyang?”
Kakek Naura membelai pipi Naura lembut “Apakah soal Dinno?, pergilah Naura, lakukan apa yang membuatmu bahagia selagi itu baik untukmu, eyang Cuma berharap agar kamu bahagia, cari kebahagiaan mu sendiri Ra.”
“Terimakasih banyak eyang,” Naura memeluk kakek nya “Tapi, bagaimane eyang tahu kalau itu mengenai Dinno?”
Kakek Naura tidak berbicara apa-apa lagi, hanya tersenyum memandangi wajah cucu perempuan satu-satunya itu.
Semarang, Senin, 16.30…
Senja bergulir di kota Semarang, membuat lukisan indah di langit…
“Terimakasih banyak ya pak,” ucap Naura saat memberikan ongkos taksi kepada bapak supir taksi yang sudah setengah tua.
Naura sampai di depan kafe milik Dinno, berdiri tepat di depan kaca jendela besar di samping kiri pintu masuk kafe Dinno, Naura memandangi Dinno yang sedang sibuk meracik kopi dari luar, ia tersenyum ketika pandangan Dinno menemukan nya yang masih berdiri di depan jendela kafe, Dinno langsung meninggalkan tempat dimana ia sedang meracik kopi, berjalan cepat menuju arah Naura, dan menghampiri Naura, berdiri tepat di depan Naura, Dinno memandangi Naura yang memakai t-shirt ukuran besar berwarna putih, rambut Naura yang kini sudah mulai panjang ia biarkan tergerai begitu saja. Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
“Kau datang Ra?” ucap Dinno singkat.
“Ada yang ingin ku tanyakan pada mu Dinno.”
“Apa, katakanlah.”
“Apakah, ada yang salah jika seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah bersahabat sejak lama jatuh cinta, adakah yang salah dengan itu Dinn?”
“Tidak Ra, tidak ada yang salah dengan itu, tidak ada yang salah dengan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah bersahabat sejak lama lalu mereka jatuh cinta, tidak ada yang salah juga dengan mereka yang baru bertemu lalu jatuh cinta di saat itu juga, yang salah adalah ketika mereka menolak cinta yang tumbuh subur diantara mereka, karena bagaimana pun cinta tidak akan pernah salah Naura, dan aku, aku sungguh menintai mu Naura.”
“Tapi aku bukanlah yang terbaik untuk mu  Dinno.”
“Kau tau Ra, apa yang terbaik dari mu yang membuat ku jatuh cinta?”
Naura menggeleng,
“Sederhana Naura, semua yang ada dalam diri mu, walau kau pernah terjebak dalam hal yang salah, walau kau sempat menjadi diri mu yang paling buruk, walau kau sempat menghancurkan kehidupanmu sendiri dengan ulah mu, tetap saja kau adalah Naura, u adalah bunga, walau seperti apa diri mu, kau akan tetap menjadi Naura, menjadi Bunga.”
“Dan, apakah aku adalah penyebab mengapa kau membatalkan pertunangan mu?”
“Tidak Ra, aku tidak mencintai perempuan itu, aku mencintai mu Naura, itu semua adalah keinginan ku, dari awal aku tidak pernah setuju dengan rencana Ibu,”
Naura membenamkan diri nya ke pelukan Dinno, ia tidak peduli dengan orang-orang yang sedari tadi memandang kearah mereka berdua, ia hanya ingin memeluk Dinno, ia merindukan Dinno, merindukan laki-laki yang setahun lalu ia tinggalkan yang kini telah kembali lagi di kehidupan nya.
“Aku tidak mau kehilangan mu lagi Ra, aku tidak akan membiarkan mu pergi lagi walau itu hanya sehari saja” bisik Dinno.
“Aku tidak akan pergi lagi jika kau meminta itu Dinn.”
Cinta tidak akan pernah datang di tempat yang salah, jika cinta datang di tempat yang salah, maka ia hanya akan hinggap lalu pergi, Cinta selalu kembali ke pada orang yang meyakini Cinta nya, walau mereka sudah berpisah lama sekalipun.
                                                                                                            -The End-