Jumat, 11 Juli 2014

Secangkir Arabica Untuk Naura



-Secangkir Arabica Untuk Naura-

“Dinno, dimana kau sekarang bisakah kah kau menjemputku, aku tidak bisa mengemudi dengan keadaan seperti ini” suara Naura ditelepon,
“Kau mabuk lagi?”, tanya Dinno…
“Sudahlah, jangan banyak tanya, perutku mual sekali, cepat jemput aku ditempat biasa, cepat jemput aku Dinno”, teriak Naura dari telepon..
“Kau ini, menyusahkan sekali Naura, harusnya kau tidak usah minum jika kau mengemudi, tunggu sebentar, diam ditempatmu jangan berulah” Dinno menutup telepon dari Naura…
            Naura, adalah seorang wanita berusia dua puluh lima puluh tahun, enam bulan lalu ia mengalami kejadian yang membuatnya berada dalam titik terendah di kehidupannya, bagaimana tidak Ayah nya yang selama ini ia kagumi dan ia hormati, memiliki wanita simpanan yang usianya sama seperti usia Naura saat ini, dan yang paling parah Ayahnya itu lebih memilih hidup bersama wanita barunya itu, meninggalkan Naura dan Ibunya. Ibunya tidak tahan melihat sikap Ayahnya yang begitu menjijikkan itu, Ibu Naura deperesi berat sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara meminum cairan pembersih lantai, Naura sudah kepalang benci dengan Ayahnya, Naura benci karena Ayahnya menjadi sebab mengapa Ibunya memilih bunuh diri, dalam hati Naura, ia sudah enggan memanggil laki-laki itu dengan panggilan Ayah, tidak ada Ayah yang memilih meninggalkan anaknya demi wanita lain yang seumuran degan anaknya sendiri, kini Naura hidup bersama Kakek dari Ibunya, ia dirawat oleh Kakeknya yang seorang pensiunan jendral, Naura enam bulan lalu, bukanlah Naura yang seperti sekarang ini, Naura sekarang menjadi sering pergi ke klub malam untuk sekedar minum sampai mabuk  jika ia sedang dilanda stress, dulu ia adalah wanita yang anti dengan gemerlap dunia malam, kini Naura menjadi akrab dengan gemerlap dunia malam itu, hanya saja Naura tidak datang ketempat seperti itu untuk dugem dan bersenang-senang dengan laki-laki, ia datang hanya untuk sekedar duduk dan memesan minuman, ia selalu menolak ajakan laki-laki atau om-om yang menggodanya, bahkan Naura pernah memukul kepala seorang pria seumuran dengan Ayahnya menggunakan gelas minumannya, Naura tentu punya alasan untuk itu, pria itu tidak hentinya menggoda Naura, mengajak naura ke hotel, dan banyak lagi, Dinno harus berurusan dengan pihak keamanan klub demi Naura, bahkan kakek Naura sampai harus mengeluarkan uang yang lumayan besar nominalnya untuk membayar ganti rugi biaya rumah sakit si pria itu tadi, kakek Naura sudah tidak tau harus bagaimana lagi menghadapi cucu perempuannya itu, kakeknya kini hanya membiarkan Naura, membiarkan Naura sampai ia sendiri sadar bahwa perbuatannya itu salah, bahwa tidak seharusnya ia mencari pelampiasan dengan cara seperti itu. Naura Intan Maheswari, adalah wanita cantik yang tidak senang berdandan, ia memiliki rambut hitam pendek model pixie, ia juga memiliki tato bertuliskan namanya Naura I. Maheswari dilengan kirinya.
            Dinno berlari keluar dari kafe miliknya, menghetikan sebuah taksi yang lewat didepan kafe,,,,
Dinno, adalah teman Naura sejak SMP, mereka berdua sangat akrab seperti layaknya kakak dan adik, jika mereka sedang hang out berdua tak jarang malah ada saja mengira mereka adalah sepasang kekasih. Ayah Dinno adalah Dosen disalah satu Universitas Islam Swasta dikotanya, Ibunya memiliki usaha toko roti buatan sendiri, namun sekarang Dinno sudah tidak memiliki Ayah, Ayah Dinno meninggal tiga tahun lalu karena serangan jantung, kini ia hanya hidup dengan Ibu dan seorang adik laki-lakinya. Dinno memiliki sebuah kafe yang pelanggannya sudah lumayan banyak, ia mendirikan kafe itu dengan modal yang diberikan Ayahnya saat Ayahnya masih hidup, Dinno menjalankan kafe miliknya sendiri sudah sejak ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Dinno adalah laki-laki yang lumayan tampan, Dinno memiliki bola mata besar, alis hitam tebal, hidung mancung, rambut berpotongan spikey yang rapi, dan terlebih ia adalah laki-laki yang tau segala sesuatu tentang Naura.
Dinno sampai di klub yang sering didatangi Naura, menghampiri Naura yang sedang duduk di meja bar, menggoyang-goyangkan gelas yang sedang ia pegangi dengan tangan kanan nya.
“Sudah cukup kau minum,” Dinno mengambil gelas Naura,
“Kenapa lama sekali kepala ku sangat pusing kenapa kau baru datang?” Naura memandangi Dinno yang sedang duduk di samping nya,
“Kenapa lagi kau, habis berapa gelas kali ini, kau masih memikirkan ayah mu?” Dinno mengguncang-guncangkan pundak Naura dengan kedua tangannya,
“Tidak, untuk apa aku memikirkan si brengsek itu, aku baru saja di sumpah serapahi oleh seorang laki-laki, lagi” Naura menyinggkirkan tangan Dinno dari pundaknya,
“Sumpah serapah, seperti itukah kau? Hanya karena disumpahi seorang laki-laki kau berbuat seperti ini, bukankah kau bilang kau sudah biasa dengan hal seperti itu, bukankah kau bilang kau tak mau memikirkan hal itu, lalu apa yang kau lakukan sekarang?, lihatlah diri mu sekarang Naura, kau berantakan” Dinno meneriaki Naura yang menatapnya dengan tatapan kosong,
“Bisakah kau tidak meniriaki ku Dinn,” mata Naura berkaca-kaca “Baru kali ini aku melihatmu begitu marah, ini melebihi saat aku memukul seorang brengsek beberapa bulan lalu” imbuh Naura yang diikuti dengan tetesan air mata yang segera ia sapu dengan telapak tangannya,
“Maaf Ra, aku hanya tidak ingin kau seperti ini terus” Dinno mengusap air mata Naura, “Ayo kita pulang, dimana kunci mobilmu?” tanya Dinno, Naura mengambil kunci mobilnya didalam tas memberikannya pada Dinno,
“Dinno, kepala ku begitu sakit” Naura memegangi kepalanya,
“Sini aku bantu berjalan” Dinno melingkarkan tangan Naura di pundaknya, berjalan keluar dari ruangan yang begitu ramai itu.
Perjalanan pulang di dalam mobil Naura…
Naura tertidur di kursinya, sesekali ia mengigau tidak jelas mungkin karena ia masih dibawah pengaruh alcohol yang diminum nya tadi. Dinno menyetir dengan tenang sambil sesekali memandangi wajah Naura yang terlihat begitu lelah, lelah akan kebencian yang ia pendam dalam hati nya, lelah akan semua sumpah serapah yang ia dapatkan dari laki-laki yang ditolaknya. Pertanyaan yang selalu muncul di benak Dinno, jika laki-laki itu memang menyukai Naura, kenapa mereka harus menyumpahi Naura ketika di tolak, bukankah itu adalah hak Naura mau menerima nya atau tidak.
“Dinn, jangan antar aku pulang kerumah eyang, beliau bisa marah jika aku pulang dengan keadaan seperti ini” Naura mengagetkan Dinno yang sedang berkonsentrasi menyetir,
“Aku tau Ra, aku tau itu” Dinno melirik Naura yang ternyata masih memejamkan matanya. Dalam kondisi seperti itu biasa nya Naura memang tidak berani pulang kerumah eyang nya, eyang nya bisa murka dengan Naura, dan jika kondisi Naura seperti itu maka Dinno akan mengajak Naura ke rumah orang tua nya, membiarkan Naura tidur di kamarnya selama satu malam, Ibu Dinno pun sudah terbiasa dengan keadaan Naura yang seperti sekarang ini, Ibu Dinno paham betul dengan keadaan Naura saat ini.
Keesokan harinya, Minggu, 08.00…
Naura membuka matanya, melihat sekeliling sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. “Oh, God… anak gila ini, kenapa dia mengajak ku pulang kerumah orang tua nya lagi” Naura menggumam,
“Kau sudah bangun tukang mabuk, kau tidur seperti orang mati tau” Suara Dinno mengejutkan Naura,
“Kau, kenapa kau terus membawa ku pulang ke rumah orang tua mu ketika aku mabuk” Naura melempar bantal kearah Dinno yang sedang berdiri disamping tempat tidur,
“Bukankah semalam kau sendiri yang bilang kalau kau tidak mau pulang kerumah eyang mu?” Dinno mengambil bantal yang di lempar Naura tadi,
“Tapi jangan bawa aku ke sini, aku malu dengan Ibu mu Dinno, bagaimana jika Ibu mu tidak mau kau berteman lagi dengan ku” Naura memukul Dinno
“Kau kan bisa mengantar ku apartement miliki Almarhumah Ibu ku” tambah Naura,
“Dan meninggalkan mu sendirian di apartement itu, kau ingat Naura, terakhir kali aku mengantar mu ke apartement itu, tengah malam kau malah menelpon ku dan meminta ku untuk menemani mu, karena kau tidak bisa tidur” kata Dinno.
 Naura terdiam, ia memang masih belum lupa dengan kejadian enam bulan lalu itu, dan di apartement di daerah Semarang atas itulah tempat dimana Ibu nya ditemukan sudah tidak bernyawa, apartement itu kini ia biarkan kosong, tidak ia sewakan atau menjual nya kepada siapa pun karena apartement itu hanyalah satu-satunya yang tertinggal dari Ibu nya, sesekali Naura datang untuk hanya sekedar membersihkan apartement itu, terlalu lama di apartement Ibu nya hanya akan membuatnya makin benci dengan Ayah kandung nya sendiri.
“Sudahlah Ra, cepat mandi dan sarapan Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk mu dan juga aku, ganti pakaian mu kau bau alcohol ” Dinno memberikan t-shirt berwarna putih miliknya dan juga rok pendek selutut berwarna hijau tosca milik Ibunya.
 Naura menerima t-shirt dan rok yang diberikan oleh Dinno, entah ada berapa t-shitr Dinno yang ia simpan di rumah eyang nya, Naura selalu memakai t-shirt Dinno jika ia menginap di rumah orang tua Dinno, dan lucu nya Naura tak pernah mau mengembalikan t-shirt yang sudah di pinjamkan Dinno untuknya dan Dinno pun tak pernah mau meminta t-shirt itu kembali.
Tiga puluh menit kemudian…
Naura menghampiri Dinno yang sedang sibuk di dapur milik Ibu nya…
“Kau sedang membuat apa Dinn? Aroma nya begitu memikat,” tanya Naura,
“Ini Arabica, kau mau biar aku buatkan” Dinno melirik Naura yang sedang mengeringkan rambut basah nya dengan handuk kecil, sejenak pandangan Dinno terhenti ia memandangi Naura
“Kau terlihat begitu indah mengenakan itu Ra, berbeda jauh dengan diri mu yang sekarang, aku seperti melihat Naura yang dulu, Naura yang penuh dengan kesederhaan dan keceriaan” kata Dinno dalam hati,
“Dinn,,,, Dinno jangan bengong seperti itu” Naura memukul Dinno dengan handuk yang ia bawa.
 Dinno terkejut dan segera memalingkan wajah kembali sibuk dengan Arabica yang ia buat tadi,
“Buatkan aku satu juga ya pak Dinn” Naura melingkarkan tangannya di pundak Dinno,
“Berhentilah berbuat seperti aku ini adalah suami mu Ra, lepaskan tangan mu dari pundak ku” Dinno setengah berteriak, Naura buru-buru melepaskan tangan nya dan berjalan menuju meja makan yang di atas nya sudah tersaji beberapa jenis masakan.
“Ini, minumlah selagi masih hangat,” Dinno menaruh segelas kopi Arabica hitam di samping tangan kanan Naura, “kenapa kau terus- menerus menolak laki-laki yang mendekati mu, apa kau tidak mau punya pacar dan segera menikah?” tanya Dinno,,,
“Kau tau Dinn, mereka semua itu sama seperti ku, mereka senang mabuk, mereka semua itu,,, mengatakan hal yang sama pada setiap wanita yang mereka temui, dan aku,,, aku tidak mau menyerahkan masa depan ku kepada laki-laki seperti itu,” jawab Naura
“Walaupun mereka kaya dan mempunyai jabatan, setau ku laki-laki yang mendekati mu rata-rata mereka sudah mapan secara materi” Dinno mengambil gelas yang berisi air putih di depannya…
“Walaupun mereka kaya, aku tidak butuh semua materi yang mereka punya Dinn, yang Ibu tinggalkan untuk ku sudah lebih dari cukup untuk ku menghidupi diri ku sendiri”, jelas Naura.
“Lalu, kau mau laki-laki seperti apa untuk mendampingi mu Ra?” kata Dinno sambil sibuk mengunyah.
“Seperti mu mungkin,” Celetuk Naura.
Dinno terkejut dengan ucapan Naura tadi, Dinno tau bahwa Naura hanya asal bicara namun di hati nya Dinno berharap bahwa kata-kata Naura tadi memang bersal dari hati terdalam nya. Dinno sebenarnya sudah mulai menyimpan perasaan lebih kepada Naura, perasaan yang bukan perasaan biasa Dinno menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat Dinno mencintai Naura dan menyayangi Naura lebih dari yang Naura ketahui. Dinno tidak tahu persis kapan ia mulai jatuh cinta pada Naura, yang ia tahu perasaan cinta nya mulai muncul saat Naura kehilangan diri nya yang sebenarnya, disaat Naura sedang terlelap tidur di mobil atau di kamar nya, disaat itulah perasaan cinta Dinno semakin bertumbuh tanpa ia bisa mengontrol pertumbuhan perasaannya itu. Namun Dinno tahu tidak mudah bagi seorang Naura untuk menerima laki-laki untuk dicintai nya, untuk mencintai nya, dan untuk menemani nya. Naura semakin sulit percaya kepada laki-laki setelah apa yang Ayah nya lakukan kepada nya dan kepada Ibunya.
“Apa ada yang salah dengan ucapan ku barusan Dinn?” tambah Naura.
Dinno menggeleng, “Cepat habiskan makanan dan kopi mu itu Ra, aku harus segera membuka kafe,” lanjut Dinno.
Naura mengangguk, megikuti perintah Dinno. Naura mengantarkan Dinno ke kafe terlebih dulu sebelum ia pulang. Dinno meninggalkan mobil nya di kafe, karena semalam setelah menjemput Naura, Dinno tak kembali lagi ke kafe nya dan menyuruh pegawai nya menutup kafe.
“Dinn,” teriak Naura dari dala mobil “Terimakasih karena selalu ada untuk ku disaat sulit ku seperti ini, beruntung nya aku memiliki sahabat seperti mu” tambah Naura.
Dinno mencubit pipi Naura, “Pulanglah, hati-hati menyetir”.
“Nanti malam aku akan mampir, buatkan aku kopi seperti tadi ya” pinta Naura.
Dinno hanya tersenyum sambil mengewasi Naura yang mulai mengemudi meninggalkan Dinno.
Minggu malam, 19.15…
Naura berjalan memasuki kafe Dinno yang memiliki interior klasik yang sangat indah. Semua mata memandangi Naura yang sedang melangkah menuju meja tempat pengunjung memesan pesanan mereka, bagaimana tidak Naura datang mengenakan dress panjang warna hitam lengan pendek dengan bagian belakang dress yang terbuka sampai batas pinggang nya, rambut Naura ia ikat menggunakan tusuk konde berwarna merah hati, Naura juga memakai lipstick berwarna senada dengan tusuk konde nya. Naura melangkah menghampiri Dinno yang sedang meracik kopi.
“Good night Erlangga Dinno Mahadika, aku pesan satu gelas kopi hitam Arabica” Naura berdiri di depan meja dimana Dinno sedang meracik kopi.
Dinno terkejut “Kapan kau datang? Mengapa tidak bilang dulu sebelum kau kesini?”
“Sejak kapan pengunjung dikafe mu harus reservasi terlebih dulu?, cepat buatkan aku kopi seperti tadi pagi” Naura berjalan menuju kursi kosong disamping jendela meninggalkan Dinno.
Dinno terkejut sekali lagi melihat pakaian yang Naura kenakan malam ini “Dia, apa dia sudah gila memakai pakaian seperti itu” Dinno menggumam.
Dinno selesai membuat kopi pesanan Naura, Dinno menghampiri Naura yang sedang duduk sendiri dengan tatapan kosong, “Ini kopi mu, dan pakai jaket ini untuk menutupi bagian belakang mu yang terbuka”, Dinno menaruh kopi di meja Naura dan menyerahkan jaket nya.
“Untuk apa aku harus memakai jaket mu? Apa ada yag salah dengan cara ku berpakaian malam ini?” Naura memandangi Dinno dengan tatapan jengkel.
“Pakai jaket itu Ra, semua mata disini terus saja memandangi mu, lihatlah mereka kebanyakan dari mereka itu laki-laki, pakai jaket itu Naura”, kata Dinno sedikit memaksa.
Naura melihat sekelilingnya, “Baiklah akan aku pakai, kau puas?” ucap Naura sambil memakai jaket yang diberikan Dinno.
“Ra, kau tidak bisa terus seperti ini, kembalilah ke Naura yang dulu, Naura yang sederhana, Naura yang tidak pernah membiarkan orang lain menikmati keindahan mu, Naura yang tidak pernah pergi ke klub malam dan mabuk-mabukan, Ra kembalilah ke diri mu yang dulu”, Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
Naura terdiam sambil memandangi segelas kopi yang ada didepannya, “I can’t Dinn, ini semua sudah terlalu jauh, aku sudah tenggelam terlalu dalam, aku tidak bisa kembali ke diri ku yang dulu.”
“Of course you can Ra, ini semua hanya masalah kau mau atau tidak”, Dinno mengenggam tangan Naura “Naura dengar, aku tidak bisa selalu ada untukmu disaat kau membutuhkan ku, Ra cepat atau lambat kita akan sibuk dengan urusan kita masing-masing, dan bagaimana jika kau masih seperti ini sementara aku sudah tidak bisa selalu ada untukmu Ra?”
Naura terkejut “Memangnya kau mau kemana? Kau mau meninggalkan ku?” Tanya Naura serius.
“Sebentar lagi aku akan bertunangan Ra, dengan perempuan yang Ibu pilihkan untuk ku,” ucap Dinno dengan pelan.
Naura melepaskan genggaman tangan Dinno “Bertunangan? Kau serius Dinno, secepat itukah?” ucap Naura dengan suara bergetar.
Hati Naura terasa teriris, sahabat yang selama ini selalu menemani nya akan segera pergi dari nya untuk sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin akan lebih pentig bagi Dinno ketimbang Naura. Naura seperti tidak ingin membagi sahabat baik nya itu kepada siapa pun.
“Iya Ra, aku akan bertunangan.” Wajah Dinno pucat. Dinno seperti berat sekali menyampaikan kabar itu kepada Naura.
Dinno belum siap jika harus mempuyai jarak dengan Naura, dan tidak akan pernah siap. Dinno sudah mulai menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat, ia sudah mulai mencintai Naura dengan setulus hatinya.
Naura bangkit dari kursi nya, “Aku harus pulang Dinn, maaf” Naura melepas jaket milik Dinno dan menaruhnya di sandaran kursi yang ia tempati tadi, pergi meninggalkan Dinno tanpa kata lain selain “maaf”.
Naura menyetir dengan hati yang tengah kacau, mata nya berkaca-kaca ia rasanya ingin segera sampai ke rumah dan berbaring di kamarnya, menangis tanpa ada orang yang megetahui nya.
Keesokan hari nya…
“Naura, kamu ndak kerja ini sudah siang nduk”, Kakek Naura mengetuk pintu kamar Naura.
Naura bangun dari tempat tidur nya, berjalan menuju pintu kamarnya “Naura lagi ndak badan eyang, Naura ingin istirahat saja dirumah” ucap Naura dengan lembut.
“Ya sudah kalau ndak enak badan kamu istirahat di rumah, tapi cepat sana mandi, si mbak sudah meyiapkan sarapan” ucap kakek Naura.
Naura hanya mengangguk sambil tersenyum, ia kembali masuk ke kamar nya duduk di depan cermin meja rias nya. Naura memandangi diri nya di cermin yang tampak kacau, mata nya begitu sembab dan hati nya masih juga belum membaik. Naura mengambil handphone yang ia taruh di meja rias nya. Lima belas panggilan tak terjawab: Dinno Mahadika. Naura menaruh handphone nya kembali, berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar tidur nya.
“Eyang, bagaimana jika kita pindah rumah saja? Kita pindah ke rumah eyang di Surabaya, bagaimana eyang?” Tanya Naura dengan tatapan serius.
“Kamu ini aneh-aneh saja, apa alas an mu meminta pindah rumah Naura bukankah kamu disini sudah punya karir yang bagus?” jawab kakek Naura lembut.
Naura terdiam, ia sendiri tidak tahu apa alasannya meminta pindah rumah. Ia hanya berpikir jika ia tidak mampu merelakan Dinno di miliki orang lain, maka ia harus berada jauh dari Dinno, sejauh yang ia bisa agar ia tidak selalu bergantung pada Dinno.
“Mungkin kalau pindah rumah, Naura akan berhenti pergi ke klub malam lagi eyang, Naura ingin lingkungan baru lingkungan yang bisa membuat Naura melupakan apa yang Naura alami, dan menjadi Naura yang baru”, jawan Naura meyakinkan kakek nya.
Kakek Naura menghela nafas panjang, “Baiklah, jika memang itu alasan mu eyang hanya mau kau bahagia tapi selagi itu positif untukmu, jika kamu pindah urus semua urusan mu terlebih dulu di sini.”
Naura tersenyum “Terimaksih banyak eyang, Naura akan segera menyelesaikan urusan Naura.”
Dua hari kemudian…
Setelah menyerahkan surat pengunduran diri nya dari perusahaan tempat Naura bekerja. Naura menyempatkan diri untuk ke makam Ibu nya dan mampir sebentar ke apartemen milik Ibu nya. Naura berdiri di balkon apartemen, memandagi layar handphone nya, sudah dua hari Naura mengacuhkan semua pesan dan panggilan masuk dari Dinno, ia harus bertemu dengan Dinno sebelum kepindahannya ke Surabaya ia harus menyelesaikan urusannya dengan Dinno.
Malam harinya, 20.00…
“Bisa datang kesini sebentar ada yang ingin kubicarakan, aku sedang di klub yang sering ku datangi”, Naura berbicara di telepon.
“Baiklah Aku akan segera kesana, aku juga ingin bebicara dengan mu”, sahut Dinno.
Naura tidak berbicara lagi, ia langsung menutup telepon nya dan kembali menenggak minumannya.
Tiga puluh menit kemudian, 20.30…
Dinno sampai di klub  favorit Naura, “Kenapa kau tidak menjawab panggilan dari ku, tidak membalas pesan ku, dan kenapa kau tidak mengabari atau datang ke kafe ku?”
“Kau sendiri, apa kau datang ke rumah ku? Ke kantor ku? Atau ke apartemen ku?”
“Naura, kau tau bagaimana khawatir nya aku akan keadaan mu sekarang yang makin bertambah buruk?” Dinno setengah berteriak.
“Kau sendiri, apa kau tau bagaimana aku sulit menerima kenyataan bahwa sebentar lagi kau akan menjauh dari ku, aku tau mungkin egois Dinn, tapi adakah yang salah dengan ku, aku sudah terbiasa dengan kehadiran mu, kita sudah saling mengenal sejak SMP.” Naura meneteskan air matanya lagi, lalu melingkarkan kedua tangan nya dileher Dinno, “Maaf jika aku terlalu egois, selamat atas rencana pertunangan mu, semoga kau selalu diberi kebahagiaan bersama calon istri mu nanti,” Naura lantas mencium kening Dinno dan pergi meninggalkan Dinno terdiam setelah mendengar perkataan Naura.
Esok paginya, 06.30..
Naura berada di depan pintu rumah orang tua Dinno, membawa papper bag ukuran sedang yang berisi semua t-shirt Dinno. Naura mengetuk pintu, tidak berselang lama, seorang wanita yang seumuran dengan almarhum Ibu nya membuka pintu, wanita itu masih terlihat canti di umurnya yang hamper separuh abad, wanita itu terlihat begitu anggun mengenakan blouse warna peach dan rok spam warna hitam panjang.
“Naura,” sapa wanita itu “Ada apa pagi-pagi sekali kesini, sebentar ya tante bangunkan Dinno dulu.”
Naura meraih tangan Ibu Dinno “Enggak usah tante, Naura Cuma mau nitipin ini ke tante,” Naura menyerahkan papper bag yang ia bawa.
“Apa ini Ra?” Tanya tante Mela, Ibunda Dinno.
“Itu semua t-shirt nya Dinno yang Naura pinjam tante,” Naura tersenyum.
“Kamu lagi enggak berantem sama Dinno kan Ra? Kamu sama Dinno baik-baik saja kan?” tante Mela membelai rambut Naura lembut.
“Enggak kok tante, Naura sama Dinno baik-baik saja, walaupun berantem paling Cuma masalah kecil, lagipula Naura enggak enak hati kalau membangunkan Dinno Cuma karena Naura mau mengembalikan t-shirt nya Dinno,” jelas Naura “Oh iya tante, terimakasih banyak karena tante selalu mengizinkan Naura menginap disini, maaf kalau seandainya ada perilaku Naura yang membuat tante dan Dinno merasa terganggu.”
Tante Mela tersenyum “Kamu ini Ra, kamu itu kan sahabat Dinno sejak dari kecil mana mungkin tante merasa terganggu, tante Cuma ingin hubungan kamu sama Dinno baik-baik saja.”
Naura mengangguk dan membalas senyuman tante Mela “Ya sudah tante, Naura enggak bisa lama-lama, sudah ditunggu eyang di rumah, Naura pamit tante.”
07.45…
Naura berada di dalam mobil travel yang akan membawa ia dan kakek nya menuju Surabaya. Naura tak kuasa menahan air mata nya, ia harus meninggalkan kota kelahiran nya, meminggalkan semua kenanangan manis bersama almarhumah Ibu nya, dan kenangan empat belas tahun persahabatnya dengan Dinno, Naura kini semakin yakin dengan apa yang dirasa nya, ia bukan hanya menyayangi Dinno sebagai sahabat, ia menyayangi Dinno lebih dari itu, dan ketika Naura sadar akan perasaannya, ketika itu pulalah ia harus mengalah, ia harus menyerahkan Dinno kepada orang lain, kepada perempuan yang jauh lebih baik dari diri nya, kepada perempuan yang jauh lebih pantas untuk Dinno.
Sore harinya, di kediaman orang tua Dinno…
“Ini apa bungkusan apa Bu?” Tanya Dinno sambil menunjukan papper bag berwarna cokelat tua yang tadi pagi di bawa Naura.
“Itu tadi dari Naura, isi nya t-shirt kamu yang dipinjam Naura, tadi Naura menitipkan itu sama Ibu”, jelas Ibu Dinno.
Dinno kembali ke kamar tidur nya, ia penasaran kenapa Naura tiba-tiba mengembalikan semua t-shirt nya yang dipinjam Naura, padahal Dinno sama sekali tidak pernahh meminta nya. Dinno mengambil handphone milik nya, mencari nama Naura Maheswari di daftar panggilan keluar di handphone nya, “Nomor yang anda tuju berada di luar service area” Dinno langung melempar handphone nya ke tempat tidur, “Apa-apaan ini, kenapa nomor nya selalu tidak bisa dihubungi sejak kemarin, apa yang terjadi sebenarnya dengan mu Naura.”
Dinno membuka papper bag nya, ia menemukan secarik kertas yang dilipat menjadi tiga bagian, ia lalu membuka dan membaca tulisan yang ia hafal betul siapa pemilik tulisan itu.
Erlangga Dinno Mahadika…
Empat belas tahun kita bersahabat bukan, kau tau adalah hal menyenangkan karena telah melewatkan empat belas tahun kehidupan ku bersahabat dengan seorang seperti mu. Menyenangkan karena kau selalu saja ada untuk ku bahkan di saat teburuk ku sekalipun. Dinno, maaf akan perkataan ku kemarin malam, aku sadar aku terlalu egois, dan kini aku juga sadar bahwa apa yang membuat ku tidak bisa merelakan mu di miliki orang lain adalah karena aku menyayangi mu, bukan sebagai sahabat lagi, tapi lebih dari itu, dan disaat aku sadar akan itu disaat itu pula aku harus membuang rasa ku itu. Kau tau hal yang paling menyakitakn adalah ketika cinta mu kepada seseorang hanyalah kau yang merasakan, tanpa ada balasan dari orang tersebut, tapi yang paling menyakitkan lagi, adalah ketika kau terlambat menyadari nya, dan walau kau memperjuangkannya itu semua sia-sia karena seorang tersebut akan menjadi milik orang lain dan bukan menjadi milik mu.  Semoga pengakuan ku ini tidak akan berdampak apa-apa bagi mu dan calon istri mu, tidak ada maksud apa-apa dari ku ketika menulis surat ini, aku hanya ingin menyampaikan apa yang aku rasa harus aku sampaikan. Semoga hidupmu selalu di beri kebahagian, di beri limpahan cinta dan kasih dari orang-orang sekitar mu. Cukup ku rasa apa yang ingin aku ungkapkan.
-Naura Intan Maheswari-

Satu tahun berikutnya….
Satu Tahun berlalu, Naura masih ingat betul dengan aroma Arabica yang Dinno buatkan untuk nya di malam dimana ia menyadari akan perasaannya pada Dinno, setiap kali Naura menghirup aroma dari segelas kopi hitam Arabica ia seperti merindukan sosok Dinno, Dinno dan aroma Arabica yang khas sudah menyatu dalam ingatan Naura.
Surabaya, Sabtu, 17.00…
Naura baru samapi dirumah  ketika ia mendengar suara ketukan pintu di kediaman eyang nya.
“Iya, sebentar..” teriak Naura. Naura membukakan pintu, ia terkejut saat mendapati sosok yang berada di hadapan nya kini. Laki-laki dengan tinggi 185 cm, berambut model spikey, dan memakai t-shirt berwarna hitam.
“Hai Ra, terkejut?” sapa laki-laki itu dengan mimic muka datar.
Naura menghela nafas “Dinno, dari mana kau tau alamat rumah ini?”
Dinno tidak menjawab pertanyaan Naura, ia langsung masuk kedalam rumah walau Naura belum mempersilahkannya masuk lalu duduk di kusi ruang tamu, “Satu tahun tanpa kabar, pergi tanpa memberitahu ku, nomor mu yang tidak bisa ku hubungi, email ku yang tidak pernah kau balas walau sudah kau baca, dan hanya meninggalkan secarik surat di hari kepergian mu, siapa kau berani berbuat seperti itu kepada ku, itu semua hampir membuat ku gila Naura.”
Naura menghampiri Dinno dan duduk di samping Dinno “Aku punya alasan untuk semua itu Dinno,” Naura melirik tangan Dinno, tidak ada cincin yang terpasang di jari Dinno, Naura lalu meraih tangan Dinno dan menggenggam nya, “Dimana cincin mu, apa kau belum menikah setelah pertunangan mu?”
“Aku membatalkan pertunangan dan juga pernikahan ku,” ucap Dinno.
“Kau gila, kau membatalkan pertunangan mu dan juga pernikahan mu begitu saja, apa yang ada dalam benak mu Dinno?” Tanya Naura.
Dinno membuka tas ransel miliknya, mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas nya “Berhenti berpura-pura tidak tau Ra,” teriak Dinno “Ini alasan mengapa aku membatalkan pertungan dan pernikahan ku,” Dinno menyerahkan secarik kertas yang mula nya berwarna pure white yang kini berubah menjadi off white.
Dinno menggenggam tangan Naura erat, “Ra, jika kau mencintai ku kenapa kau tidak mengatakan nya langsung kepada ku, kenapa kau membiarkan ku melukai hati mu, dan kenapa kau malah pergi menghilang dari ku? Kenapa Naura?”
Naura menatap mata Dinno “Kau sendiri Dinno, apa kau juga punya rasa yang sama dengan ku? Dan jika iya kenapa kau juga tidak mengatakan nya terlebih dulu? Kenapa harus menunggu aku dulu yang mengatakan nya?”
“Aku bahkan mecintai mu lebih dari yang kau tau Naura, lebih dari seorang sahabat, kenapa aku tidak mengatakannya, karena aku tidak ingin kau menolak ku dan persahabatan kita hancur hanya, aku tidak mau hal itu samapi terjadi, walau kau tidak mencintai ku sekalipun asalkan tetap berada dekat dengan mu itu sudah cukup bagi ku Naura.”
“Kau pengecut Dinno, dan lagipula mau seberapa besar kau mencintai ku dan aku mencintai mu, itu tidak akan berhasil Dinno, tidak akan.” Naura melepaskan genggaman tangan Dinno.
“Kenapa tidak Ra, bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini?” Tanya Dinno.
“Karena aku bukanlah perempuan yang pantas untuk laki-laki seperti mu, kau pantas mendapatkan yang terbaik, yang lebih baik dari ku, dan bukannya seorang perempuan yang hobi nya mabuk seperti ku, aku tidak pantas untuk mu Dinno, tidak akan pernah.” Jawab Naura setengah berteriak.
“Naura, yang tau mana yang terbaik untuk ku adalah diri ku sendiri, bukan kau atau bahkan Ibu ku, tapi aku Ra, aku yang lebih tau apa yang ku inginkan, maaf aku tidak bisa lama-lama disini Ra, jika kau berubah pikiran, kembalilah ke Semarang, temui aku di sana, sama seperti aku yang menemui di sini, aku tunggu kedatangan mu Naura.”  Dinno meninggalkan Naura di ruang tamu sendiri.
Malamnya…
Naura terus saja berpikir mengenai perkataan Dinno tadi sore, ia masih belum bisa menghilangkan rasa tidak percaya nya akan kedatangan Dinno, sudah satu tahun Naura tidak bertemu atau bahkan berkomunikasi dengan Dinno, dan hari ini Dinno datang, hati Naura seperti berbunga kembali, seperti ladang kering yang merindukan hujan.
Naura menghampiri kakek nya yang sedang menonton televisi “Eyang, Naura mau minta izin untuk kembali ke Semarang beberapa hari, ada hal yang harus Naura selesaikan di sana, bolehkah eyang?”
Kakek Naura membelai pipi Naura lembut “Apakah soal Dinno?, pergilah Naura, lakukan apa yang membuatmu bahagia selagi itu baik untukmu, eyang Cuma berharap agar kamu bahagia, cari kebahagiaan mu sendiri Ra.”
“Terimakasih banyak eyang,” Naura memeluk kakek nya “Tapi, bagaimane eyang tahu kalau itu mengenai Dinno?”
Kakek Naura tidak berbicara apa-apa lagi, hanya tersenyum memandangi wajah cucu perempuan satu-satunya itu.
Semarang, Senin, 16.30…
Senja bergulir di kota Semarang, membuat lukisan indah di langit…
“Terimakasih banyak ya pak,” ucap Naura saat memberikan ongkos taksi kepada bapak supir taksi yang sudah setengah tua.
Naura sampai di depan kafe milik Dinno, berdiri tepat di depan kaca jendela besar di samping kiri pintu masuk kafe Dinno, Naura memandangi Dinno yang sedang sibuk meracik kopi dari luar, ia tersenyum ketika pandangan Dinno menemukan nya yang masih berdiri di depan jendela kafe, Dinno langsung meninggalkan tempat dimana ia sedang meracik kopi, berjalan cepat menuju arah Naura, dan menghampiri Naura, berdiri tepat di depan Naura, Dinno memandangi Naura yang memakai t-shirt ukuran besar berwarna putih, rambut Naura yang kini sudah mulai panjang ia biarkan tergerai begitu saja. Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
“Kau datang Ra?” ucap Dinno singkat.
“Ada yang ingin ku tanyakan pada mu Dinno.”
“Apa, katakanlah.”
“Apakah, ada yang salah jika seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah bersahabat sejak lama jatuh cinta, adakah yang salah dengan itu Dinn?”
“Tidak Ra, tidak ada yang salah dengan itu, tidak ada yang salah dengan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah bersahabat sejak lama lalu mereka jatuh cinta, tidak ada yang salah juga dengan mereka yang baru bertemu lalu jatuh cinta di saat itu juga, yang salah adalah ketika mereka menolak cinta yang tumbuh subur diantara mereka, karena bagaimana pun cinta tidak akan pernah salah Naura, dan aku, aku sungguh menintai mu Naura.”
“Tapi aku bukanlah yang terbaik untuk mu  Dinno.”
“Kau tau Ra, apa yang terbaik dari mu yang membuat ku jatuh cinta?”
Naura menggeleng,
“Sederhana Naura, semua yang ada dalam diri mu, walau kau pernah terjebak dalam hal yang salah, walau kau sempat menjadi diri mu yang paling buruk, walau kau sempat menghancurkan kehidupanmu sendiri dengan ulah mu, tetap saja kau adalah Naura, u adalah bunga, walau seperti apa diri mu, kau akan tetap menjadi Naura, menjadi Bunga.”
“Dan, apakah aku adalah penyebab mengapa kau membatalkan pertunangan mu?”
“Tidak Ra, aku tidak mencintai perempuan itu, aku mencintai mu Naura, itu semua adalah keinginan ku, dari awal aku tidak pernah setuju dengan rencana Ibu,”
Naura membenamkan diri nya ke pelukan Dinno, ia tidak peduli dengan orang-orang yang sedari tadi memandang kearah mereka berdua, ia hanya ingin memeluk Dinno, ia merindukan Dinno, merindukan laki-laki yang setahun lalu ia tinggalkan yang kini telah kembali lagi di kehidupan nya.
“Aku tidak mau kehilangan mu lagi Ra, aku tidak akan membiarkan mu pergi lagi walau itu hanya sehari saja” bisik Dinno.
“Aku tidak akan pergi lagi jika kau meminta itu Dinn.”
Cinta tidak akan pernah datang di tempat yang salah, jika cinta datang di tempat yang salah, maka ia hanya akan hinggap lalu pergi, Cinta selalu kembali ke pada orang yang meyakini Cinta nya, walau mereka sudah berpisah lama sekalipun.
                                                                                                            -The End-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar