-Secangkir Arabica Untuk Naura-
“Dinno, dimana kau sekarang bisakah
kah kau menjemputku, aku tidak bisa mengemudi dengan keadaan seperti ini” suara
Naura ditelepon,
“Kau mabuk lagi?”, tanya Dinno…
“Sudahlah, jangan banyak tanya,
perutku mual sekali, cepat jemput aku ditempat biasa, cepat jemput aku Dinno”,
teriak Naura dari telepon..
“Kau ini, menyusahkan sekali Naura,
harusnya kau tidak usah minum jika kau mengemudi, tunggu sebentar, diam ditempatmu
jangan berulah” Dinno menutup telepon dari Naura…
Naura,
adalah seorang wanita berusia dua puluh lima puluh tahun, enam bulan lalu ia
mengalami kejadian yang membuatnya berada dalam titik terendah di kehidupannya,
bagaimana tidak Ayah nya yang selama ini ia kagumi dan ia hormati, memiliki
wanita simpanan yang usianya sama seperti usia Naura saat ini, dan yang paling
parah Ayahnya itu lebih memilih hidup bersama wanita barunya itu, meninggalkan
Naura dan Ibunya. Ibunya tidak tahan melihat sikap Ayahnya yang begitu
menjijikkan itu, Ibu Naura deperesi berat sehingga memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya dengan cara meminum cairan pembersih lantai, Naura sudah kepalang
benci dengan Ayahnya, Naura benci karena Ayahnya menjadi sebab mengapa Ibunya
memilih bunuh diri, dalam hati Naura, ia sudah enggan memanggil laki-laki itu
dengan panggilan Ayah, tidak ada Ayah yang memilih meninggalkan anaknya demi
wanita lain yang seumuran degan anaknya sendiri, kini Naura hidup bersama Kakek
dari Ibunya, ia dirawat oleh Kakeknya yang seorang pensiunan jendral, Naura
enam bulan lalu, bukanlah Naura yang seperti sekarang ini, Naura sekarang
menjadi sering pergi ke klub malam untuk sekedar minum sampai mabuk jika ia sedang dilanda stress, dulu ia adalah
wanita yang anti dengan gemerlap dunia malam, kini Naura menjadi akrab dengan gemerlap
dunia malam itu, hanya saja Naura tidak datang ketempat seperti itu untuk dugem
dan bersenang-senang dengan laki-laki, ia datang hanya untuk sekedar duduk dan
memesan minuman, ia selalu menolak ajakan laki-laki atau om-om yang
menggodanya, bahkan Naura pernah memukul kepala seorang pria seumuran dengan
Ayahnya menggunakan gelas minumannya, Naura tentu punya alasan untuk itu, pria
itu tidak hentinya menggoda Naura, mengajak naura ke hotel, dan banyak lagi,
Dinno harus berurusan dengan pihak keamanan klub demi Naura, bahkan kakek Naura
sampai harus mengeluarkan uang yang lumayan besar nominalnya untuk membayar
ganti rugi biaya rumah sakit si pria itu tadi, kakek Naura sudah tidak tau
harus bagaimana lagi menghadapi cucu perempuannya itu, kakeknya kini hanya
membiarkan Naura, membiarkan Naura sampai ia sendiri sadar bahwa perbuatannya
itu salah, bahwa tidak seharusnya ia mencari pelampiasan dengan cara seperti
itu. Naura Intan Maheswari, adalah wanita cantik yang tidak senang berdandan,
ia memiliki rambut hitam pendek model pixie, ia juga memiliki tato bertuliskan
namanya Naura I. Maheswari dilengan kirinya.
Dinno
berlari keluar dari kafe miliknya, menghetikan sebuah taksi yang lewat didepan
kafe,,,,
Dinno, adalah teman Naura sejak
SMP, mereka berdua sangat akrab seperti layaknya kakak dan adik, jika mereka
sedang hang out berdua tak jarang malah ada saja mengira mereka adalah sepasang
kekasih. Ayah Dinno adalah Dosen disalah satu Universitas Islam Swasta
dikotanya, Ibunya memiliki usaha toko roti buatan sendiri, namun sekarang Dinno
sudah tidak memiliki Ayah, Ayah Dinno meninggal tiga tahun lalu karena serangan
jantung, kini ia hanya hidup dengan Ibu dan seorang adik laki-lakinya. Dinno
memiliki sebuah kafe yang pelanggannya sudah lumayan banyak, ia mendirikan kafe
itu dengan modal yang diberikan Ayahnya saat Ayahnya masih hidup, Dinno
menjalankan kafe miliknya sendiri sudah sejak ketika ia masih berstatus sebagai
mahasiswa. Dinno adalah laki-laki yang lumayan tampan, Dinno memiliki bola mata
besar, alis hitam tebal, hidung mancung, rambut berpotongan spikey yang rapi, dan
terlebih ia adalah laki-laki yang tau segala sesuatu tentang Naura.
Dinno sampai di klub yang sering
didatangi Naura, menghampiri Naura yang sedang duduk di meja bar,
menggoyang-goyangkan gelas yang sedang ia pegangi dengan tangan kanan nya.
“Sudah cukup kau minum,” Dinno
mengambil gelas Naura,
“Kenapa lama sekali kepala ku
sangat pusing kenapa kau baru datang?” Naura memandangi Dinno yang sedang duduk
di samping nya,
“Kenapa lagi kau, habis berapa
gelas kali ini, kau masih memikirkan ayah mu?” Dinno mengguncang-guncangkan
pundak Naura dengan kedua tangannya,
“Tidak, untuk apa aku memikirkan si
brengsek itu, aku baru saja di sumpah serapahi oleh seorang laki-laki, lagi”
Naura menyinggkirkan tangan Dinno dari pundaknya,
“Sumpah serapah, seperti itukah
kau? Hanya karena disumpahi seorang laki-laki kau berbuat seperti ini, bukankah
kau bilang kau sudah biasa dengan hal seperti itu, bukankah kau bilang kau tak
mau memikirkan hal itu, lalu apa yang kau lakukan sekarang?, lihatlah diri mu
sekarang Naura, kau berantakan” Dinno meneriaki Naura yang menatapnya dengan
tatapan kosong,
“Bisakah kau tidak meniriaki ku
Dinn,” mata Naura berkaca-kaca “Baru kali ini aku melihatmu begitu marah, ini
melebihi saat aku memukul seorang brengsek beberapa bulan lalu” imbuh Naura
yang diikuti dengan tetesan air mata yang segera ia sapu dengan telapak
tangannya,
“Maaf Ra, aku hanya tidak ingin kau
seperti ini terus” Dinno mengusap air mata Naura, “Ayo kita pulang, dimana
kunci mobilmu?” tanya Dinno, Naura mengambil kunci mobilnya didalam tas
memberikannya pada Dinno,
“Dinno, kepala ku begitu sakit” Naura
memegangi kepalanya,
“Sini aku bantu berjalan” Dinno
melingkarkan tangan Naura di pundaknya, berjalan keluar dari ruangan yang
begitu ramai itu.
Perjalanan pulang di dalam mobil
Naura…
Naura tertidur di kursinya,
sesekali ia mengigau tidak jelas mungkin karena ia masih dibawah pengaruh
alcohol yang diminum nya tadi. Dinno menyetir dengan tenang sambil sesekali
memandangi wajah Naura yang terlihat begitu lelah, lelah akan kebencian yang ia
pendam dalam hati nya, lelah akan semua sumpah serapah yang ia dapatkan dari
laki-laki yang ditolaknya. Pertanyaan yang selalu muncul di benak Dinno, jika
laki-laki itu memang menyukai Naura, kenapa mereka harus menyumpahi Naura ketika
di tolak, bukankah itu adalah hak Naura mau menerima nya atau tidak.
“Dinn, jangan antar aku pulang
kerumah eyang, beliau bisa marah jika aku pulang dengan keadaan seperti ini”
Naura mengagetkan Dinno yang sedang berkonsentrasi menyetir,
“Aku tau Ra, aku tau itu” Dinno
melirik Naura yang ternyata masih memejamkan matanya. Dalam kondisi seperti itu
biasa nya Naura memang tidak berani pulang kerumah eyang nya, eyang nya bisa
murka dengan Naura, dan jika kondisi Naura seperti itu maka Dinno akan mengajak
Naura ke rumah orang tua nya, membiarkan Naura tidur di kamarnya selama satu
malam, Ibu Dinno pun sudah terbiasa dengan keadaan Naura yang seperti sekarang
ini, Ibu Dinno paham betul dengan keadaan Naura saat ini.
Keesokan harinya, Minggu, 08.00…
Naura membuka matanya, melihat
sekeliling sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. “Oh, God… anak gila ini,
kenapa dia mengajak ku pulang kerumah orang tua nya lagi” Naura menggumam,
“Kau sudah bangun tukang mabuk, kau
tidur seperti orang mati tau” Suara Dinno mengejutkan Naura,
“Kau, kenapa kau terus membawa ku
pulang ke rumah orang tua mu ketika aku mabuk” Naura melempar bantal kearah
Dinno yang sedang berdiri disamping tempat tidur,
“Bukankah semalam kau sendiri yang
bilang kalau kau tidak mau pulang kerumah eyang mu?” Dinno mengambil bantal
yang di lempar Naura tadi,
“Tapi jangan bawa aku ke sini, aku
malu dengan Ibu mu Dinno, bagaimana jika Ibu mu tidak mau kau berteman lagi
dengan ku” Naura memukul Dinno
“Kau kan bisa mengantar ku
apartement miliki Almarhumah Ibu ku” tambah Naura,
“Dan meninggalkan mu sendirian di
apartement itu, kau ingat Naura, terakhir kali aku mengantar mu ke apartement
itu, tengah malam kau malah menelpon ku dan meminta ku untuk menemani mu,
karena kau tidak bisa tidur” kata Dinno.
Naura terdiam, ia memang masih belum lupa
dengan kejadian enam bulan lalu itu, dan di apartement di daerah Semarang atas
itulah tempat dimana Ibu nya ditemukan sudah tidak bernyawa, apartement itu
kini ia biarkan kosong, tidak ia sewakan atau menjual nya kepada siapa pun
karena apartement itu hanyalah satu-satunya yang tertinggal dari Ibu nya,
sesekali Naura datang untuk hanya sekedar membersihkan apartement itu, terlalu
lama di apartement Ibu nya hanya akan membuatnya makin benci dengan Ayah
kandung nya sendiri.
“Sudahlah Ra, cepat mandi dan
sarapan Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk mu dan juga aku, ganti pakaian mu
kau bau alcohol ” Dinno memberikan t-shirt berwarna putih miliknya dan juga rok
pendek selutut berwarna hijau tosca milik Ibunya.
Naura menerima t-shirt dan rok yang diberikan
oleh Dinno, entah ada berapa t-shitr Dinno yang ia simpan di rumah eyang nya,
Naura selalu memakai t-shirt Dinno jika ia menginap di rumah orang tua Dinno,
dan lucu nya Naura tak pernah mau mengembalikan t-shirt yang sudah di pinjamkan
Dinno untuknya dan Dinno pun tak pernah mau meminta t-shirt itu kembali.
Tiga puluh menit kemudian…
Naura menghampiri Dinno yang sedang
sibuk di dapur milik Ibu nya…
“Kau sedang membuat apa Dinn? Aroma
nya begitu memikat,” tanya Naura,
“Ini Arabica, kau mau biar aku
buatkan” Dinno melirik Naura yang sedang mengeringkan rambut basah nya dengan
handuk kecil, sejenak pandangan Dinno terhenti ia memandangi Naura
“Kau terlihat begitu indah
mengenakan itu Ra, berbeda jauh dengan diri mu yang sekarang, aku seperti
melihat Naura yang dulu, Naura yang penuh dengan kesederhaan dan keceriaan”
kata Dinno dalam hati,
“Dinn,,,, Dinno jangan bengong
seperti itu” Naura memukul Dinno dengan handuk yang ia bawa.
Dinno terkejut dan segera memalingkan wajah
kembali sibuk dengan Arabica yang ia buat tadi,
“Buatkan aku satu juga ya pak Dinn”
Naura melingkarkan tangannya di pundak Dinno,
“Berhentilah berbuat seperti aku
ini adalah suami mu Ra, lepaskan tangan mu dari pundak ku” Dinno setengah
berteriak, Naura buru-buru melepaskan tangan nya dan berjalan menuju meja makan
yang di atas nya sudah tersaji beberapa jenis masakan.
“Ini, minumlah selagi masih hangat,”
Dinno menaruh segelas kopi Arabica hitam di samping tangan kanan Naura, “kenapa
kau terus- menerus menolak laki-laki yang mendekati mu, apa kau tidak mau punya
pacar dan segera menikah?” tanya Dinno,,,
“Kau tau Dinn, mereka semua itu
sama seperti ku, mereka senang mabuk, mereka semua itu,,, mengatakan hal yang
sama pada setiap wanita yang mereka temui, dan aku,,, aku tidak mau menyerahkan
masa depan ku kepada laki-laki seperti itu,” jawab Naura
“Walaupun mereka kaya dan mempunyai
jabatan, setau ku laki-laki yang mendekati mu rata-rata mereka sudah mapan
secara materi” Dinno mengambil gelas yang berisi air putih di depannya…
“Walaupun mereka kaya, aku tidak
butuh semua materi yang mereka punya Dinn, yang Ibu tinggalkan untuk ku sudah
lebih dari cukup untuk ku menghidupi diri ku sendiri”, jelas Naura.
“Lalu, kau mau laki-laki seperti
apa untuk mendampingi mu Ra?” kata Dinno sambil sibuk mengunyah.
“Seperti mu mungkin,” Celetuk
Naura.
Dinno terkejut dengan ucapan Naura
tadi, Dinno tau bahwa Naura hanya asal bicara namun di hati nya Dinno berharap
bahwa kata-kata Naura tadi memang bersal dari hati terdalam nya. Dinno
sebenarnya sudah mulai menyimpan perasaan lebih kepada Naura, perasaan yang
bukan perasaan biasa Dinno menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat Dinno
mencintai Naura dan menyayangi Naura lebih dari yang Naura ketahui. Dinno tidak
tahu persis kapan ia mulai jatuh cinta pada Naura, yang ia tahu perasaan cinta
nya mulai muncul saat Naura kehilangan diri nya yang sebenarnya, disaat Naura
sedang terlelap tidur di mobil atau di kamar nya, disaat itulah perasaan cinta
Dinno semakin bertumbuh tanpa ia bisa mengontrol pertumbuhan perasaannya itu.
Namun Dinno tahu tidak mudah bagi seorang Naura untuk menerima laki-laki untuk
dicintai nya, untuk mencintai nya, dan untuk menemani nya. Naura semakin sulit
percaya kepada laki-laki setelah apa yang Ayah nya lakukan kepada nya dan
kepada Ibunya.
“Apa ada yang salah dengan ucapan
ku barusan Dinn?” tambah Naura.
Dinno menggeleng, “Cepat habiskan
makanan dan kopi mu itu Ra, aku harus segera membuka kafe,” lanjut Dinno.
Naura mengangguk, megikuti perintah
Dinno. Naura mengantarkan Dinno ke kafe terlebih dulu sebelum ia pulang. Dinno
meninggalkan mobil nya di kafe, karena semalam setelah menjemput Naura, Dinno
tak kembali lagi ke kafe nya dan menyuruh pegawai nya menutup kafe.
“Dinn,” teriak Naura dari dala
mobil “Terimakasih karena selalu ada untuk ku disaat sulit ku seperti ini,
beruntung nya aku memiliki sahabat seperti mu” tambah Naura.
Dinno mencubit pipi Naura,
“Pulanglah, hati-hati menyetir”.
“Nanti malam aku akan mampir,
buatkan aku kopi seperti tadi ya” pinta Naura.
Dinno hanya tersenyum sambil
mengewasi Naura yang mulai mengemudi meninggalkan Dinno.
Minggu malam, 19.15…
Naura berjalan memasuki kafe Dinno
yang memiliki interior klasik yang sangat indah. Semua mata memandangi Naura
yang sedang melangkah menuju meja tempat pengunjung memesan pesanan mereka,
bagaimana tidak Naura datang mengenakan dress panjang warna hitam lengan pendek
dengan bagian belakang dress yang terbuka sampai batas pinggang nya, rambut
Naura ia ikat menggunakan tusuk konde berwarna merah hati, Naura juga memakai
lipstick berwarna senada dengan tusuk konde nya. Naura melangkah menghampiri
Dinno yang sedang meracik kopi.
“Good night Erlangga Dinno
Mahadika, aku pesan satu gelas kopi hitam Arabica” Naura berdiri di depan meja
dimana Dinno sedang meracik kopi.
Dinno terkejut “Kapan kau datang?
Mengapa tidak bilang dulu sebelum kau kesini?”
“Sejak kapan pengunjung dikafe mu
harus reservasi terlebih dulu?, cepat buatkan aku kopi seperti tadi pagi” Naura
berjalan menuju kursi kosong disamping jendela meninggalkan Dinno.
Dinno terkejut sekali lagi melihat
pakaian yang Naura kenakan malam ini “Dia, apa dia sudah gila memakai pakaian
seperti itu” Dinno menggumam.
Dinno selesai membuat kopi pesanan
Naura, Dinno menghampiri Naura yang sedang duduk sendiri dengan tatapan kosong,
“Ini kopi mu, dan pakai jaket ini untuk menutupi bagian belakang mu yang
terbuka”, Dinno menaruh kopi di meja Naura dan menyerahkan jaket nya.
“Untuk apa aku harus memakai jaket
mu? Apa ada yag salah dengan cara ku berpakaian malam ini?” Naura memandangi
Dinno dengan tatapan jengkel.
“Pakai jaket itu Ra, semua mata
disini terus saja memandangi mu, lihatlah mereka kebanyakan dari mereka itu
laki-laki, pakai jaket itu Naura”, kata Dinno sedikit memaksa.
Naura melihat sekelilingnya,
“Baiklah akan aku pakai, kau puas?” ucap Naura sambil memakai jaket yang
diberikan Dinno.
“Ra, kau tidak bisa terus seperti
ini, kembalilah ke Naura yang dulu, Naura yang sederhana, Naura yang tidak
pernah membiarkan orang lain menikmati keindahan mu, Naura yang tidak pernah
pergi ke klub malam dan mabuk-mabukan, Ra kembalilah ke diri mu yang dulu”,
Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
Naura terdiam sambil memandangi
segelas kopi yang ada didepannya, “I can’t Dinn, ini semua sudah terlalu jauh,
aku sudah tenggelam terlalu dalam, aku tidak bisa kembali ke diri ku yang
dulu.”
“Of course you can Ra, ini semua
hanya masalah kau mau atau tidak”, Dinno mengenggam tangan Naura “Naura dengar,
aku tidak bisa selalu ada untukmu disaat kau membutuhkan ku, Ra cepat atau
lambat kita akan sibuk dengan urusan kita masing-masing, dan bagaimana jika kau
masih seperti ini sementara aku sudah tidak bisa selalu ada untukmu Ra?”
Naura terkejut “Memangnya kau mau
kemana? Kau mau meninggalkan ku?” Tanya Naura serius.
“Sebentar lagi aku akan bertunangan
Ra, dengan perempuan yang Ibu pilihkan untuk ku,” ucap Dinno dengan pelan.
Naura melepaskan genggaman tangan
Dinno “Bertunangan? Kau serius Dinno, secepat itukah?” ucap Naura dengan suara
bergetar.
Hati Naura terasa teriris, sahabat
yang selama ini selalu menemani nya akan segera pergi dari nya untuk sesuatu
yang baru, sesuatu yang mungkin akan lebih pentig bagi Dinno ketimbang Naura.
Naura seperti tidak ingin membagi sahabat baik nya itu kepada siapa pun.
“Iya Ra, aku akan bertunangan.”
Wajah Dinno pucat. Dinno seperti berat sekali menyampaikan kabar itu kepada
Naura.
Dinno belum siap jika harus
mempuyai jarak dengan Naura, dan tidak akan pernah siap. Dinno sudah mulai
menyayangi Naura lebih dari sekedar sahabat, ia sudah mulai mencintai Naura
dengan setulus hatinya.
Naura bangkit dari kursi nya, “Aku
harus pulang Dinn, maaf” Naura melepas jaket milik Dinno dan menaruhnya di
sandaran kursi yang ia tempati tadi, pergi meninggalkan Dinno tanpa kata lain
selain “maaf”.
Naura menyetir dengan hati yang
tengah kacau, mata nya berkaca-kaca ia rasanya ingin segera sampai ke rumah dan
berbaring di kamarnya, menangis tanpa ada orang yang megetahui nya.
Keesokan hari nya…
“Naura, kamu ndak kerja ini sudah
siang nduk”, Kakek Naura mengetuk pintu kamar Naura.
Naura bangun dari tempat tidur nya,
berjalan menuju pintu kamarnya “Naura lagi ndak badan eyang, Naura ingin
istirahat saja dirumah” ucap Naura dengan lembut.
“Ya sudah kalau ndak enak badan
kamu istirahat di rumah, tapi cepat sana mandi, si mbak sudah meyiapkan
sarapan” ucap kakek Naura.
Naura hanya mengangguk sambil
tersenyum, ia kembali masuk ke kamar nya duduk di depan cermin meja rias nya.
Naura memandangi diri nya di cermin yang tampak kacau, mata nya begitu sembab
dan hati nya masih juga belum membaik. Naura mengambil handphone yang ia taruh
di meja rias nya. Lima belas panggilan tak terjawab: Dinno Mahadika. Naura
menaruh handphone nya kembali, berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar
tidur nya.
“Eyang, bagaimana jika kita pindah
rumah saja? Kita pindah ke rumah eyang di Surabaya, bagaimana eyang?” Tanya
Naura dengan tatapan serius.
“Kamu ini aneh-aneh saja, apa alas
an mu meminta pindah rumah Naura bukankah kamu disini sudah punya karir yang
bagus?” jawab kakek Naura lembut.
Naura terdiam, ia sendiri tidak
tahu apa alasannya meminta pindah rumah. Ia hanya berpikir jika ia tidak mampu
merelakan Dinno di miliki orang lain, maka ia harus berada jauh dari Dinno,
sejauh yang ia bisa agar ia tidak selalu bergantung pada Dinno.
“Mungkin kalau pindah rumah, Naura
akan berhenti pergi ke klub malam lagi eyang, Naura ingin lingkungan baru
lingkungan yang bisa membuat Naura melupakan apa yang Naura alami, dan menjadi
Naura yang baru”, jawan Naura meyakinkan kakek nya.
Kakek Naura menghela nafas panjang,
“Baiklah, jika memang itu alasan mu eyang hanya mau kau bahagia tapi selagi itu
positif untukmu, jika kamu pindah urus semua urusan mu terlebih dulu di sini.”
Naura tersenyum “Terimaksih banyak
eyang, Naura akan segera menyelesaikan urusan Naura.”
Dua hari kemudian…
Setelah menyerahkan surat
pengunduran diri nya dari perusahaan tempat Naura bekerja. Naura menyempatkan
diri untuk ke makam Ibu nya dan mampir sebentar ke apartemen milik Ibu nya.
Naura berdiri di balkon apartemen, memandagi layar handphone nya, sudah dua
hari Naura mengacuhkan semua pesan dan panggilan masuk dari Dinno, ia harus
bertemu dengan Dinno sebelum kepindahannya ke Surabaya ia harus menyelesaikan
urusannya dengan Dinno.
Malam harinya, 20.00…
“Bisa datang kesini sebentar ada
yang ingin kubicarakan, aku sedang di klub yang sering ku datangi”, Naura
berbicara di telepon.
“Baiklah Aku akan segera kesana,
aku juga ingin bebicara dengan mu”, sahut Dinno.
Naura tidak berbicara lagi, ia
langsung menutup telepon nya dan kembali menenggak minumannya.
Tiga puluh menit kemudian, 20.30…
Dinno sampai di klub favorit Naura, “Kenapa kau tidak menjawab
panggilan dari ku, tidak membalas pesan ku, dan kenapa kau tidak mengabari atau
datang ke kafe ku?”
“Kau sendiri, apa kau datang ke
rumah ku? Ke kantor ku? Atau ke apartemen ku?”
“Naura, kau tau bagaimana khawatir
nya aku akan keadaan mu sekarang yang makin bertambah buruk?” Dinno setengah
berteriak.
“Kau sendiri, apa kau tau bagaimana
aku sulit menerima kenyataan bahwa sebentar lagi kau akan menjauh dari ku, aku
tau mungkin egois Dinn, tapi adakah yang salah dengan ku, aku sudah terbiasa
dengan kehadiran mu, kita sudah saling mengenal sejak SMP.” Naura meneteskan
air matanya lagi, lalu melingkarkan kedua tangan nya dileher Dinno, “Maaf jika
aku terlalu egois, selamat atas rencana pertunangan mu, semoga kau selalu
diberi kebahagiaan bersama calon istri mu nanti,” Naura lantas mencium kening
Dinno dan pergi meninggalkan Dinno terdiam setelah mendengar perkataan Naura.
Esok paginya, 06.30..
Naura berada di depan pintu rumah
orang tua Dinno, membawa papper bag ukuran sedang yang berisi semua t-shirt
Dinno. Naura mengetuk pintu, tidak berselang lama, seorang wanita yang seumuran
dengan almarhum Ibu nya membuka pintu, wanita itu masih terlihat canti di
umurnya yang hamper separuh abad, wanita itu terlihat begitu anggun mengenakan
blouse warna peach dan rok spam warna hitam panjang.
“Naura,” sapa wanita itu “Ada apa
pagi-pagi sekali kesini, sebentar ya tante bangunkan Dinno dulu.”
Naura meraih tangan Ibu Dinno “Enggak
usah tante, Naura Cuma mau nitipin ini ke tante,” Naura menyerahkan papper bag
yang ia bawa.
“Apa ini Ra?” Tanya tante Mela,
Ibunda Dinno.
“Itu semua t-shirt nya Dinno yang
Naura pinjam tante,” Naura tersenyum.
“Kamu lagi enggak berantem sama
Dinno kan Ra? Kamu sama Dinno baik-baik saja kan?” tante Mela membelai rambut
Naura lembut.
“Enggak kok tante, Naura sama Dinno
baik-baik saja, walaupun berantem paling Cuma masalah kecil, lagipula Naura
enggak enak hati kalau membangunkan Dinno Cuma karena Naura mau mengembalikan
t-shirt nya Dinno,” jelas Naura “Oh iya tante, terimakasih banyak karena tante
selalu mengizinkan Naura menginap disini, maaf kalau seandainya ada perilaku
Naura yang membuat tante dan Dinno merasa terganggu.”
Tante Mela tersenyum “Kamu ini Ra,
kamu itu kan sahabat Dinno sejak dari kecil mana mungkin tante merasa
terganggu, tante Cuma ingin hubungan kamu sama Dinno baik-baik saja.”
Naura mengangguk dan membalas
senyuman tante Mela “Ya sudah tante, Naura enggak bisa lama-lama, sudah
ditunggu eyang di rumah, Naura pamit tante.”
07.45…
Naura berada di dalam mobil travel
yang akan membawa ia dan kakek nya menuju Surabaya. Naura tak kuasa menahan air
mata nya, ia harus meninggalkan kota kelahiran nya, meminggalkan semua kenanangan
manis bersama almarhumah Ibu nya, dan kenangan empat belas tahun persahabatnya
dengan Dinno, Naura kini semakin yakin dengan apa yang dirasa nya, ia bukan
hanya menyayangi Dinno sebagai sahabat, ia menyayangi Dinno lebih dari itu, dan
ketika Naura sadar akan perasaannya, ketika itu pulalah ia harus mengalah, ia
harus menyerahkan Dinno kepada orang lain, kepada perempuan yang jauh lebih
baik dari diri nya, kepada perempuan yang jauh lebih pantas untuk Dinno.
Sore harinya, di kediaman orang tua
Dinno…
“Ini apa bungkusan apa Bu?” Tanya Dinno
sambil menunjukan papper bag berwarna cokelat tua yang tadi pagi di bawa Naura.
“Itu tadi dari Naura, isi nya
t-shirt kamu yang dipinjam Naura, tadi Naura menitipkan itu sama Ibu”, jelas
Ibu Dinno.
Dinno kembali ke kamar tidur nya,
ia penasaran kenapa Naura tiba-tiba mengembalikan semua t-shirt nya yang
dipinjam Naura, padahal Dinno sama sekali tidak pernahh meminta nya. Dinno
mengambil handphone milik nya, mencari nama Naura Maheswari di daftar panggilan
keluar di handphone nya, “Nomor yang anda tuju berada di luar service area”
Dinno langung melempar handphone nya ke tempat tidur, “Apa-apaan ini, kenapa
nomor nya selalu tidak bisa dihubungi sejak kemarin, apa yang terjadi
sebenarnya dengan mu Naura.”
Dinno membuka papper bag nya, ia
menemukan secarik kertas yang dilipat menjadi tiga bagian, ia lalu membuka dan
membaca tulisan yang ia hafal betul siapa pemilik tulisan itu.
Erlangga
Dinno Mahadika…
Empat belas tahun kita bersahabat bukan, kau tau adalah
hal menyenangkan karena telah melewatkan empat belas tahun kehidupan ku
bersahabat dengan seorang seperti mu. Menyenangkan karena kau selalu saja ada
untuk ku bahkan di saat teburuk ku sekalipun. Dinno, maaf akan perkataan ku
kemarin malam, aku sadar aku terlalu egois, dan kini aku juga sadar bahwa apa
yang membuat ku tidak bisa merelakan mu di miliki orang lain adalah karena aku
menyayangi mu, bukan sebagai sahabat lagi, tapi lebih dari itu, dan disaat aku
sadar akan itu disaat itu pula aku harus membuang rasa ku itu. Kau tau hal yang
paling menyakitakn adalah ketika cinta mu kepada seseorang hanyalah kau yang
merasakan, tanpa ada balasan dari orang tersebut, tapi yang paling menyakitkan
lagi, adalah ketika kau terlambat menyadari nya, dan walau kau
memperjuangkannya itu semua sia-sia karena seorang tersebut akan menjadi milik
orang lain dan bukan menjadi milik mu. Semoga
pengakuan ku ini tidak akan berdampak apa-apa bagi mu dan calon istri mu, tidak
ada maksud apa-apa dari ku ketika menulis surat ini, aku hanya ingin
menyampaikan apa yang aku rasa harus aku sampaikan. Semoga hidupmu selalu di
beri kebahagian, di beri limpahan cinta dan kasih dari orang-orang sekitar mu. Cukup
ku rasa apa yang ingin aku ungkapkan.
-Naura Intan Maheswari-
Satu tahun berikutnya….
Satu Tahun berlalu, Naura masih
ingat betul dengan aroma Arabica yang Dinno buatkan untuk nya di malam dimana
ia menyadari akan perasaannya pada Dinno, setiap kali Naura menghirup aroma
dari segelas kopi hitam Arabica ia seperti merindukan sosok Dinno, Dinno dan
aroma Arabica yang khas sudah menyatu dalam ingatan Naura.
Surabaya, Sabtu, 17.00…
Naura baru samapi dirumah ketika ia mendengar suara ketukan pintu di
kediaman eyang nya.
“Iya, sebentar..” teriak Naura. Naura
membukakan pintu, ia terkejut saat mendapati sosok yang berada di hadapan nya
kini. Laki-laki dengan tinggi 185 cm, berambut model spikey, dan memakai
t-shirt berwarna hitam.
“Hai Ra, terkejut?” sapa laki-laki
itu dengan mimic muka datar.
Naura menghela nafas “Dinno, dari
mana kau tau alamat rumah ini?”
Dinno tidak menjawab pertanyaan
Naura, ia langsung masuk kedalam rumah walau Naura belum mempersilahkannya masuk
lalu duduk di kusi ruang tamu, “Satu tahun tanpa kabar, pergi tanpa memberitahu
ku, nomor mu yang tidak bisa ku hubungi, email ku yang tidak pernah kau balas
walau sudah kau baca, dan hanya meninggalkan secarik surat di hari kepergian
mu, siapa kau berani berbuat seperti itu kepada ku, itu semua hampir membuat ku
gila Naura.”
Naura menghampiri Dinno dan duduk
di samping Dinno “Aku punya alasan untuk semua itu Dinno,” Naura melirik tangan
Dinno, tidak ada cincin yang terpasang di jari Dinno, Naura lalu meraih tangan
Dinno dan menggenggam nya, “Dimana cincin mu, apa kau belum menikah setelah
pertunangan mu?”
“Aku membatalkan pertunangan dan juga
pernikahan ku,” ucap Dinno.
“Kau gila, kau membatalkan
pertunangan mu dan juga pernikahan mu begitu saja, apa yang ada dalam benak mu
Dinno?” Tanya Naura.
Dinno membuka tas ransel miliknya,
mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas nya “Berhenti berpura-pura tidak tau
Ra,” teriak Dinno “Ini alasan mengapa aku membatalkan pertungan dan pernikahan
ku,” Dinno menyerahkan secarik kertas yang mula nya berwarna pure white yang
kini berubah menjadi off white.
Dinno menggenggam tangan Naura
erat, “Ra, jika kau mencintai ku kenapa kau tidak mengatakan nya langsung
kepada ku, kenapa kau membiarkan ku melukai hati mu, dan kenapa kau malah pergi
menghilang dari ku? Kenapa Naura?”
Naura menatap mata Dinno “Kau
sendiri Dinno, apa kau juga punya rasa yang sama dengan ku? Dan jika iya kenapa
kau juga tidak mengatakan nya terlebih dulu? Kenapa harus menunggu aku dulu
yang mengatakan nya?”
“Aku bahkan mecintai mu lebih dari
yang kau tau Naura, lebih dari seorang sahabat, kenapa aku tidak mengatakannya,
karena aku tidak ingin kau menolak ku dan persahabatan kita hancur hanya, aku
tidak mau hal itu samapi terjadi, walau kau tidak mencintai ku sekalipun
asalkan tetap berada dekat dengan mu itu sudah cukup bagi ku Naura.”
“Kau pengecut Dinno, dan lagipula
mau seberapa besar kau mencintai ku dan aku mencintai mu, itu tidak akan
berhasil Dinno, tidak akan.” Naura melepaskan genggaman tangan Dinno.
“Kenapa tidak Ra, bukankah tidak
ada hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini?” Tanya Dinno.
“Karena aku bukanlah perempuan yang
pantas untuk laki-laki seperti mu, kau pantas mendapatkan yang terbaik, yang
lebih baik dari ku, dan bukannya seorang perempuan yang hobi nya mabuk seperti
ku, aku tidak pantas untuk mu Dinno, tidak akan pernah.” Jawab Naura setengah
berteriak.
“Naura, yang tau mana yang terbaik
untuk ku adalah diri ku sendiri, bukan kau atau bahkan Ibu ku, tapi aku Ra, aku
yang lebih tau apa yang ku inginkan, maaf aku tidak bisa lama-lama disini Ra,
jika kau berubah pikiran, kembalilah ke Semarang, temui aku di sana, sama
seperti aku yang menemui di sini, aku tunggu kedatangan mu Naura.” Dinno meninggalkan Naura di ruang tamu
sendiri.
Malamnya…
Naura terus saja berpikir mengenai
perkataan Dinno tadi sore, ia masih belum bisa menghilangkan rasa tidak percaya
nya akan kedatangan Dinno, sudah satu tahun Naura tidak bertemu atau bahkan
berkomunikasi dengan Dinno, dan hari ini Dinno datang, hati Naura seperti
berbunga kembali, seperti ladang kering yang merindukan hujan.
Naura menghampiri kakek nya yang
sedang menonton televisi “Eyang, Naura mau minta izin untuk kembali ke Semarang
beberapa hari, ada hal yang harus Naura selesaikan di sana, bolehkah eyang?”
Kakek Naura membelai pipi Naura
lembut “Apakah soal Dinno?, pergilah Naura, lakukan apa yang membuatmu bahagia
selagi itu baik untukmu, eyang Cuma berharap agar kamu bahagia, cari
kebahagiaan mu sendiri Ra.”
“Terimakasih banyak eyang,” Naura
memeluk kakek nya “Tapi, bagaimane eyang tahu kalau itu mengenai Dinno?”
Kakek Naura tidak berbicara apa-apa
lagi, hanya tersenyum memandangi wajah cucu perempuan satu-satunya itu.
Semarang, Senin, 16.30…
Senja bergulir di kota Semarang,
membuat lukisan indah di langit…
“Terimakasih banyak ya pak,” ucap
Naura saat memberikan ongkos taksi kepada bapak supir taksi yang sudah setengah
tua.
Naura sampai di depan kafe milik
Dinno, berdiri tepat di depan kaca jendela besar di samping kiri pintu masuk
kafe Dinno, Naura memandangi Dinno yang sedang sibuk meracik kopi dari luar, ia
tersenyum ketika pandangan Dinno menemukan nya yang masih berdiri di depan
jendela kafe, Dinno langsung meninggalkan tempat dimana ia sedang meracik kopi,
berjalan cepat menuju arah Naura, dan menghampiri Naura, berdiri tepat di depan
Naura, Dinno memandangi Naura yang memakai t-shirt ukuran besar berwarna putih,
rambut Naura yang kini sudah mulai panjang ia biarkan tergerai begitu saja.
Dinno menatap mata Naura yang berwarna cokelat terang.
“Kau datang Ra?” ucap Dinno
singkat.
“Ada yang ingin ku tanyakan pada mu
Dinno.”
“Apa, katakanlah.”
“Apakah, ada yang salah jika
seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sudah bersahabat sejak lama jatuh
cinta, adakah yang salah dengan itu Dinn?”
“Tidak Ra, tidak ada yang salah
dengan itu, tidak ada yang salah dengan seorang perempuan dan seorang laki-laki
yang sudah bersahabat sejak lama lalu mereka jatuh cinta, tidak ada yang salah juga
dengan mereka yang baru bertemu lalu jatuh cinta di saat itu juga, yang salah
adalah ketika mereka menolak cinta yang tumbuh subur diantara mereka, karena
bagaimana pun cinta tidak akan pernah salah Naura, dan aku, aku sungguh
menintai mu Naura.”
“Tapi aku bukanlah yang terbaik
untuk mu Dinno.”
“Kau tau Ra, apa yang terbaik dari
mu yang membuat ku jatuh cinta?”
Naura menggeleng,
“Sederhana Naura, semua yang ada
dalam diri mu, walau kau pernah terjebak dalam hal yang salah, walau kau sempat
menjadi diri mu yang paling buruk, walau kau sempat menghancurkan kehidupanmu
sendiri dengan ulah mu, tetap saja kau adalah Naura, u adalah bunga, walau
seperti apa diri mu, kau akan tetap menjadi Naura, menjadi Bunga.”
“Dan, apakah aku adalah penyebab
mengapa kau membatalkan pertunangan mu?”
“Tidak Ra, aku tidak mencintai
perempuan itu, aku mencintai mu Naura, itu semua adalah keinginan ku, dari awal
aku tidak pernah setuju dengan rencana Ibu,”
Naura membenamkan diri nya ke
pelukan Dinno, ia tidak peduli dengan orang-orang yang sedari tadi memandang kearah mereka berdua, ia hanya ingin memeluk Dinno, ia merindukan Dinno,
merindukan laki-laki yang setahun lalu ia tinggalkan yang kini telah kembali
lagi di kehidupan nya.
“Aku tidak mau kehilangan mu lagi
Ra, aku tidak akan membiarkan mu pergi lagi walau itu hanya sehari saja” bisik
Dinno.
“Aku tidak akan pergi lagi jika kau
meminta itu Dinn.”
Cinta tidak akan pernah datang di
tempat yang salah, jika cinta datang di tempat yang salah, maka ia hanya akan
hinggap lalu pergi, Cinta selalu kembali ke pada orang yang meyakini Cinta nya,
walau mereka sudah berpisah lama sekalipun.
-The
End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar