BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Bagi masyarakat yang tidak tahu atau belum memahami
subtansu kebijakan pendidikan dan proses penyusunannya, maka pemikiran
masyarakat identik dengan “sikap ganti menteri, ganti kebijakan pendidikan”.
Pendapat tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar, dan tidak pula sepenuhya
salah. Berdasarkan fakta bahwa, jabatan Menteri adalah jabatan politik tempat
seorang pejabat Negara mengaktualisasikan gagasannya dalam bentuk keputusan politi, maka sebetulnya
pendapat masyarakat adalah benar. Akan tetapi harus pula diingat tidak semua
Menteri pendidikan mempunyai gagasan yang brilliant untuk diwujudkan dalam
bentuk kebijakan pendiika; adakalanya “hanya” menjalankan kebijakan pendidikan
yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh para actor kebijakan dilingkungan
kementerian pendidikan.[1]
Makalah ini disusun agar mahasiswa dapat memahami
apa saja komponen-komponen yang terdapat dalam kebijakan pendidikan. Sangat
penting pula bagi ahasiswa jurusan keguruan mengetahui tentang kebijan pendidikan,
khususnya kebijakan pendidika di Indonesia itu sendiri.
2.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan?
B.
Apa yang dimasud dengan kebijakan
pendidikan nasional dan daerah?
C. Apa
yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan umum, khusus, dan teknis?
D.
Apa saja nilai-nilai dasar dan prinsip
kebijakan pendidikan?
E. Apa
yang dimakud dengan implementasi kebijakan pendidikan?
F. Apa saja model- model kebijakan
pendidikan?
G.
Bagaimana proses analisis kebijakan dalam pendidikan?
H. Bagaimana kebijakan pemerintah mengenai
otonomi pendidikan?
I. Bagaimana kebijakan penganggaran
pendidikan pada kabupaten/kota?
J.
Apa saja metodologi studi kebijakan
pendidikan?
3.
TUJUAN
A.
Mahasiswa dapat mengetahui apa itu kebijakan pendidikan.
B.
Mahasiswa dapat mengetahui apa itu kebijakan pendidikan nasional dan
daerah.
C.
Mahasiswa dapat mengetahui apa itu kebijakan
pendidikan umum, khusus, dan teknis.
D.
Mahasiswa dapat mengetahui apa saja
nilai-nilai dasar dan prinsip kebijakan pendidikan.
E.
Mahasiswa dapat mengetahui apa yang
dimakud dengan implementasi kebijakan pendidikan.
F.
Mahasiswa dapat mengetahui apa saja model- model kebijakan
pendidikan.
G.
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana proses analisis kebijakan dalam
pendidikan.
H.
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah mengenai
otonomi pendidikan.
I.
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana kebijakan penganggaran pendidikan
pada kabupaten/kota.
J.
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana apa saja metodologi
studi kebijakan pendidikan.
BAB
II
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Menurut Carter V. Good (1959), kebijakan pendidikan
adalah suatu pertimbangan yang didasrkan atas system nilai dan beberapa
penilaian terhadap factor-faktor yang bersifat situasional. Pertimbangan
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat
melembaga. Good melihat kebijakan pendidikan sebagai suatu peruses.
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan public
dibidang pendidikan. Meurut Ensiklopedia Wikipedia disebutkan bahwa kebijakan
pendidikan berkenaan dengan kumpulan atau seperangkat aturan yang memandu
pelaksanaan system pendidikan, yang juga meliputi tujuan pendidikan dan
bagaimana mencapai tujun tersebut.
Menurut Gamage & Pang (2003), kebijakan
pendidikan dapat juga dipahami sebagai perangkat panduan yang memberikan kerangka
kerja bagi tindakan dalam hubungan dngan persoalan subtantif. Garis panduan
dimaksud mencakup istilah umum (general terms), dan tindakan (yang akan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan masalah yang ada). Garis panduan atau
kebijakan pendidikan akan menjadikan kepala sekolah, staf, dan personalia
lainnya sebagai warga sekolah dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan arah
yang jelas. Pada tingkatan sekolah, kebijakan pendidikan sangat penting bagi
kehidupan siswa dan para guru karena berkaitan dengan pengajaran dan
pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas sekolah dan presentasi
pelajar.
Sedangkan menurut Thompson (1976), suatu kebijakan
pendidikan disekolah oleh orang yang terpilih dan bertanggung jawab untuk
membuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah dan unsure lain yang diberi
kewenangan, membuat kebijakan, baik sekolah, pengawas, atau administrator yang
memiliki kewenanganmengelola kebijakan pendidikan dari dewan sekolah.
Tilaar dan Riant Nugroho (2009), mengetengahkan
kerangka berfikir yang sangat menarik untuk sampai kepada rumusan mengenai
kebijakan pendidikan. Pendidikan sebagai suatu entitas diletakkan dalam
kontekskebutuhan hakiki manusia yang utuh dengan esensi tujuan mencapai
kebahagiaan dan keadilan yang manusiawi. Secara teoritis dan filosofi kebijakan
pendidikan diletakkan antara keduanya.
Kebijakan pendidikan menurut Tilaar dan Riant
Nugroho, dapat dikenali berdasarkan aspek-aspek berikut:
1. Kebijakan
pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi mengenai hakikat manusia
sebagai makhluk yang menjadi-manusia dalam lingkungan kemanusiaan. Oleh sebab
itu kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi dari
pendidikan dalam masyarakat tertentu.
2. Kebijakan
pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis yaitu kestuan
antara teori dan praktik pendidikan. Oleh sebab itu kebijakan pendidikan
meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
evaluasi.
3. Kebijakan
pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat
yang memiliki pendidikan itu validitas social dari kebijakan pendidikan tampak
dalam sumbangannya bagi perkembangan pribadi individu yang kreatif sehinnga
dapat mentransformasikan masyarakat serta kebudayaannya.
4. Keterbukaan
(openness), proses pendidikan sebagai proses pemanusiaanterjadi dalam interaksi
social. Hal ini berarti bahwa pensisikan merupakan milik masyarakat.
5. Kebijakan
pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu kebijakan pendidikan
bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi yang dapat diimplementasikan
6. Analisis
kebijakan. Sebagaimana pula dengan berbagai jenis kebijakan, kebijakan
pendidikan juga memerlukan alalisis kebijakan.
7. Kebijakan
pendidikan pertama-tama dtujukan pada kebutuhan peserta didik. Dalam dunia
modern, pendidikan merupakan rebutan partai-partai politik. Hal ini disebabkan
karena melalui pendidikan dapat dibentuk kader-kader politik yang akan menyebarluaskan
dan mempertahankan ideology partai tersebut. Kebijakan pendidikan seharusnya
diarahkan pada terbentuknya para intelektual organic yang menjadi agen-agen
pembaruan dalam masyarakatnya.
8. Kebijakan
pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis.
9. Kebijakan
pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian
tujuan-tujuan tertentu.
10. Kebijakan
pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan pendidikan bukan semata-mata
berupa rumusan verbal mengenai tingkah
laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan.
11. Kebijakan
pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada kebutuhan peserta
didik. Pendidikan sangat erat dengan kekuasaan.
12. Kebijakan
pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijakan yang irasional. Kebijakan
pendidikan telah lahir dari proses
deliberasi para pakar dalm berbagai disiplin sehingga merumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan untuk kepentingan rakyat.
13. Kejelasan
tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
14. Kebijakan
pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik dan bukan bagi
kepuasan birokrat.[2]
B.
Kebijakan
Pendidikan Nasional Dan Daerah
Sesuai
dengan Undang-undang Nomor 32 / 2004, tentang pemerintah daerah, berikut
penyempurnaannya, urusan pemerintahan dibagi menjadi dua jenis, yaitu urusan
pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat) dan urusan
pemerintahan daerah (provinsi, daerah, kota). Urusan pendidikan sesuai dengan
pasal 13 dan 14 Undang-undang nomor 23 / 2004, merupakan urusan wajib yang
harus diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten / kota. Artinya
kebijakan pendidikan bersifat desentralistik, kendati demikian kebijakan
pendidikan tidak secara otomatis bersifat desentralistik, ada kebijakan
pendidikan yang bersifat sentralistik, terutama jika silihat dari level
kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan.
Kebijakan
pendidikan yang bersifat sentralistik disebut juga sebagai kebijakan pendidikan
pada tingkat nasional (national policy level). Sebagai penentu kebijakan
pendidikan nasional ini adalah Majelis Permusyawaratn Rakyat (MPR). Kebijakan
yang berada pada level nasional ini, disebut juga kebijakan administrative.
Kebijakan
pendidikan yang bersifat desentralistik, yakni level kebijakan pendidikan
daerah, wujud kebijakan pendidikan daerah ada dua macam, yaitu, pertama Perda
(peraturan daerah), tentang pendidikan yang perumusan nya berada ditangan eksekutif
(bupati / walikota) dan legislative atau mitra Bupati / walikota, yakni, DPRD.
Kedua, keputusan / peraturan bupati / walikota tentang pendidikan.
C.
Kebijakan
Pendidikan Umum, Khusus, Dan Teknis
Kebijakan
pendidikan yang bersifat umum (general policy level), merupakan kebijakan
pendidikan eksekutif, oleh karena itu yang menentukan adalah mereka yang berada
pada posisi eksekutif, dan yang termasuk kedalam kebijakan ini adalah:
1. Undang-undang
Produk kebijakan pendidikan dalam bentuk
Undang-undang, antara lain ialah UU No. 20 / 2003, tentang system pendidikan
nasional; UU No. 14 / 2005, tentang Guru dan Dosen, dan UU tentang Perguruan
Tinggi yang sedang digodog pemerintah dan DPR sebagai pengganti UU tentang PT
BHMN (perguruan tinggi badan hukum milik Negara), yang menempatkan Perguruan
Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan, dan sudah dianulir oleh Mahkamah
Konstitusi.
2. Peraturan
pemerintah
Produk kebijakan pendidikan dalam Peraturan
Pemerintah antara lain PP Nomor 55 tahun 1998, tentang perubahan atas PP Nomor 28
tahun 1990 tentang pendidikan dasar, PP Nomor 41 tahun 2009, tentang Tunjangan
profesi Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehotmatan Profesor, PP Nomor 17 tahun
2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP Nomor 37 tahun
2009, tentang Dosen. PP Nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan, PP Nomor 74 tahun 2008 tentag Guru, dll.
3. Keputusan,
Peraturan, dan Instruksi Presiden
Contoh kebijakan pendidikan dalam kategori ini
antara lain, Keputusan Presiden Rebuplik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001,
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
kerja Departemen.
Sifat
kebijakan pendidian yang bersifat khusus (special policy level). Tingkat
kebijakan ini letak penentuannya ada di tangan Menteri Pendidikan. Special
policy level inidibuat oleh Menteri Pendidikan dengan mendasrkan kebijakan yang
berda di atasnya, berupa keputusan bersama dengan Menteri, atau berupa
peraturan Menteri Negara.
Contoh
kebijakan pendidikan yang bersifat khusus pada level kementerian, yaitu:
1. Keputusan
Mendiknas RI No. 056/P/2007, tentang, Pembentukan Konsorium Sertifikasi Guru.
2. Permendiknas
RI No. 36 Tahun 2007, tentang, Penyaluran Tunjangan Profesi bagi Guru.
3. Permendiknas
RI No. 47 Tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Inpassing Jabatan Fungsional Guru
bukan PNS dan Angka Kreditnya.
4. Permendiknas
RI No. 8 Tahun 2009, tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan.
5. Peraturan
Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan
Funsional Guru dan Angka Kreditnya.
6. Peraturan
Bersama Mendiknas dan Kepalal BKN Nomor: 03/V/PB/2010; Nomor: 14 Tahun 2010,
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Oleh
karena Sekertaris Jenderal dan Inspektur Jenderal berfungsi sebagai pembantu Menteri,
maka kebijakan kedua pejabat ini juga
dapat dikategorikan sebagai kebijakan khusus. Contohnya adalah Surat Edaran
Bersama Sekertaris Jenderal Departemen Agama dan Direktur Jenderal PMPTK, No.
SJ/Dj. I/Kp.02/1569/2007; 4823/F/SE/2007, tanggal 7 Agustus 2007.
Kebijakan
Pendiidikan Teknis (technical policy level). Sifat kebijakan pendidikan teknis
lazim disebut dengan kebijakan operatif. Dikatakan sebagai kebijakan operatif ,
oleh karena kebijakan pendidikan ini merupakan pedoman pelaksanaan. Penentuan
kebijakan pendidikan ini berada pada tangan pejabat eselon 2 kebawah, seperti
Direktorat Jenderal atau pimpinan lembaga non departemental. Produk kebijakakn
pendidikan ini berupa peraturan, keputusan, dan instruksi pimpinan lembaga.
Contohnya yaitu:
1. Keputusan
Dirjen Dikti Depdikbud RI No. 48/D3/Kep/1983, tentang Beban Tugas Tenaga
Pengajar pada Perguruan Tinggi.
2. Keputusan
Dirjen Dikti Depdiknas No. 44/DIKTI/Kep/2006, tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan
Kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat di Perguruan Tinggi.
3. Petunjuk
Teknis Dirjen PMPTK tentang Pembayaran Tambahan Penghasilan bagi Guru PNS
Daerah Tahun 2009, dll.
Berdasarkan
technical policy level ini pula, Gubernur, Kakanwil, Bupati dan Kandep di
masing-masing bidang.
Selain
itu, terdapat pula kebijakan pendidikan yang bersifat mikro. Termasuk dalam
kebijakan pendidikan yang bersifat mikro adalah berbagai peraturan atau
keputusan yang dibuat oleh pimpinan lembaga pendidikan, misalnya kepala
sekolah. Kebijakan pendidikan ini mencakup berbagai keputusan yang dibuat oleh
Dewan atau Komite Sekolah.[3]
D.
Nilai-Nilai
Dasar Dan Prinsip Kebijakan Pendidikan
Mengadopsi
Peraturan Meneg-PAN Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007, tentang Pedoman Umum Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan
Daerah, maka ketika merumuskan suatu kebijakan pendidikan, sekurang-kurangnya
ada enam nilai dasar kebijakan pendidikan, antara lain:
1. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan haruslah bersifat cerdas.
2. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan harus bersifat bijaksana.
3. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan harus memiliki harapan baru.
4. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan harus terfokus pada rakyat.
5. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan harus bisa member motivasi.
6. Kebijakakn
pendidikan yang dirumuskan harus prodktifitas, memiliki kualitas.
Adapun
prinsi-prinsip yang dianut dalam formulasi kebijakan pendidikan, antara lain:
1. Benar
dalam proses.
2. Benar
secara isi.
3. Benar
secara politik-etik.
4. Benar
secara hokum.
5. Benar
secara manajemen.
6. Benar
secara bahasa.[4]
E.
Implementasi
Kebijakan Pendidikan
Menurut
Grindle (1984), implementasi kebijakan pendidikan sesungguhnya bukanlah sekedar
bersngkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi pendidikan, melainkan
lebih dari itu. Implementasi kebijakan pendidikan juga menyangkut masalah
konflik kepentingan, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan
tersebut.
Lebih
jauh Grindle, menjelaskan bahwa pengukuran implementasi dapat dilihat dari
prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang
telah ditentukan yaitu melihat pada aksi (action).
Menurut
Udoji, implementasi kebijakan pendidikan adalah sesuatu yang penting bahkan jauh
lebih penting dibandingkan perumusannya. Kebijakan pendidikan haya sekedar
impian atau rencana sempurna yang tersimpan rapi sebagai arsip apabila tidak
diimplementasikan.
Proses
implementasi kebijakan pendidikan itu sesugguhnya tidak hanya menyangkut prilaku
badan-badan administrative yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program
pendidikan dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosialyang langsung
atau tidak langsung dapat memengaruhi prilaku dari semua pihakyang terlibat,
dan yang ada pada akhirnya berpengaruh pada dampak, baik yang diharapkan
(intended) maupun yang tidak diharapkan (spillover / negative effects).
Berikut
adalah beberapa langkah dalam pengimplemtasian kebijakan pendidikan sesuai
kerangka peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tentang pedoman Umum Formulasi, Implementasi,
Evaluasi Kinerja dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah
Pusat dan Daerah, langkah-langkah
nya adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan
Implementasi Kebijakan Pendidikan (0 s.d. 6 bulan), termasuk kegiatan
sosialisasi dan pemberdayaan para pihak yang menjadi pelaksanaan kebijkan
pendidikan, baik dari kalangan pemerintahan (birokrasi), maupun public
(masyarakat). Tahapan sosialisasi dilakukan dengan cara: penyebarluasan kepada
public melalui media massa elektronik, media cetak, dan temu public.
2. Implementasi
kebijakan pendidikan dilaksanakan tanpa sanksi (masa uji coba) dengan jangka
waktu selama 6 bulan sampai dengan 1 tahu dan disertai perbaikan atau
penyempurnann kebijakan (policy refinement, apabila diperlukan.
3. Implementasi
kebijakan pendidikan dengan sanksi dilakukan setelah masa uji coba selesai
disertai pengawasan dan pengendaliaan.
4. Setelah
dilakukan implementasi kebijakan pendidikan selama tiga tahun, dilaksanakan
evaluasi kebijakan pendidikan.[5]
1.
Persoalan-persoalan
Implementasi Kebijakan
Dalam
memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu
implementasi kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada
tahap implementasi.Implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis,
termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan demikian, implemenasi
kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah
kebijakan ditetapkan, baik yang terdiri atas pengambilan keputusan,
langkah-langkah yang stratejik, maupun operasional yang ditempuh guna
mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai
sasaran dari kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Tingkat keberhasilan
proses ini akan dipengaruhi beberapa unsur, baik yang bersifat mendukung atau
menghambat, serta lingkungan, baik fisik, sosial maupun budaya. Hal yang perlu
diwaspadai adalah dalam memilih alternatif untuk memecahkan masalah, sehingga
tidak mengganggu pencapaian tujuan kebijakan.
Implementasi
kebijakan baru akan terlihat pengaruhnya setelah kebijakan tersebut
dilaksanakan. Hal ini menunjukan bahwa proses pelaksanaan kebijakan merupakan
salah satu tahap penting dalam menentukan proses perumusan kebijakan
selanjutnya. Sebab, berhasil tidaknya suatu kebijakan dalam mencapai tujuannya
ditentukan dalam pelaksanaannya. Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan
ditentukan oleh banyak factor.
Solichin
Abdul Wahab (1990), mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan berhasil
tidaknya suatu kebijakan antara lain:
1. Kompleksitas
kebijakan yang telah dirumuskan
2. Kejelasan
rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah
3. Sumber-sumber
potensial yang mendukung
4. Keahlian
pelaksanaan kebijakan
5. Dukungan
dari khalayak sasaran
6. Efektivitas
dan efisiensi birokrasi
Keberhasilan atau kegagalan implementasi
kebijakan dapat dievaluasi kemampuan kebijakan tersbut yang secara nyata dalam
mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya
proses implementasi kebijakan perlu dievaluasi dengan cara mengukur dan
membandingkan antara hasil akhir program-program yang dilaksanakan dengan
tujuan-tujuan kebijakan.[6]
F.
Model- Model
Kebijakan Pendidikan[7]
Metodologi kualitatif
dibidang pendidikan dapat dilakukan dengan mempelajari permasalahan kebijakan
secara khusus dan secara rinci kasus perkasus ditelusuri dengan pendekatan
kualitatif seperti menejemen sekolah, menejemen kelas, peningkatan kualitas
pengajaran, penggunaan fasilitas dan perlengkapan pembelajaran dan sebagainya.
Menurut Dunn (1981:116) terdiri dari enam model diantaranya model
deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolis, model prosedural,
model sebagai pengganti dan perspektif.
1.
Model deskriptif
Menurut suryadi dan tilaar (1993:46)
adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan untuk penelitian dalam ilmu
pengetahuan baik murni maupun terapan untuk menerangkan suatu gejela yang
terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan
menurut Cohn (1981) model deskriptif adalah pendekatan positif yang diwujudkan
dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan suatu “State of the art” atau
keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang diteliti dan perlu diketahui
para pemakai.
Tujuan model
deskriptif menurut Dunn (1981:111) yaitu memprediksikan atau menjelaskan
sebab-sebab dan konsekwensi-konsekwensi dari pilihan-pilihan kebijakan., model
ini digunakan untuk memantau hasil-hasil dan aksi-aksi kebijakan seperti
indikator angka partisipasi murni dan angka out yg dipublikasikan.
2.
Model normatif
Menurut Suryadi dan tilaar (1993:47)
pendekatan normatif disebut juga dengan pendekatan preskriptif yang merupakan
upaya ilmu pengetahuan yang menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang
dapat digunakan oleh pemakai untuk memecahkan suatu masalah.
Model ini dapat
membantu untuk menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model
antri), pengaturan volume dan waktu yang optimum (model inventaris) dan
keuntungan yang optimum pada investasi publik ( model biaya manfaat).
Model ini tidak
hanya memungkinkan analis atau pengambil kebijakan memperkirakan nilai masa
lalu, masa kini dan masa mendatang, analisis kebijakan ini dimaksudkan untuk
membantu para pengambil keputusan (menteri, gubernur, bupati dan kepala sekolah)
memberikan gagsan hasil pemikiran agar pengambil keputusan dapat memecahkan
suatu masalah kebijakan.
3.
Model verbal
Model verbal (verbal models) ini
relatif mudah dikomunikasaikan diantara para ahli dan orang awam, dan biayanya
murah. Model ini mempunyai keterbatasan pada masalah-masalah yang dipakai untuk
memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi,
sehingga sulit untuk memahamji dan memeriksa secara kritis argumen-argumen
tersebut sebagai keseluruhan, karena tidak didukung informasi atau fakta yang
mendasarinya.
4.
Model simbolis
Model simbolis ini mengggunakan
simbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel
kunci yang dipercaya menciri suatu masalah.
\model ini
sulit dikomunikasikan pada orang awam, kelemahannya hasilnya tidak mudah
diinterpretasikan, bahkan diantara para spesialis, karena asumsi-asumsinya
tidak dinyatakan secara memadai. Tetapi model ini dapat memperbaiki keputusan
kebijakan, tetapi hanya premis-premis sebagai pijakan penyusun model dibuat
eksplisit dan jelas.
5.
Model
prosedural
Model prosedural memiliki hubungan
yang dinamis antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah
kebijakan. Model ini dicatat dengan memanfaatkan model ekspresi yang simbolis
dalam penentuan kebijakan, perbedaannya simbolis menggunakan data aktual untuk
memperkirakan hubungan antara variabel-variabel kebijakan dan hasil sedangkan
prosedural adalah mensimulasikan hubungan antara variabel tersebut.
Pada sistem
desentralisasi sesuia UU No.22 tahun 1999, tentan pemerintah daerah penggunaan
model prosedural dalam mengambil kebijakan pada tiga tataran yakni untuk
memenuhi standar nasional dilakukan oleh departeman pendidikan nasional, untuk
membantu kebutuhan satuan pendidikan pada tingkat regional oleh pemerintah
provinsi dan untuk memnuhi kebutuhan anggaran, sarana dan prasarana, fasilitas
dean perlengkapan, damn ketenagaan oleh pemerintah kabupaten/kota.
6.
Model sebagai
pengganti dan perspektif
Menutu suryadi
dan tilaar (1993:47) merupakan upaya ilmu p[engetahuan menawarkan suatu norma,
kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai memecahkan suatu masalah
kebijakan.
Model pengganti
(surroget model) diamsumsikan sebagai pengganti dari masalah-masalah
subtansif, keuntungan dari model ini dapat meningkatkan probabilitas kesalahan
yaitu memecahkan formulasi yang salah dari suatu masalah ketika harus
memecahkan masalah yang tepat.
G.
Analisis
Kebijakan Dalam Pendidikan
Pentingnya
analisa kebijakan menurut Thomas R. Dye (1976) adalah:
1.
Tidak terdapat kesepakatan
umum mengenai nilai-nilai kegunaan sosial, kecuali pada individu-individu atau
kelompok masyarakat tertentu
2.
Pembuat
kebijakan cenderung memaksimalkan nilai-nilai mereka dan tidak tertarik untuk
bergeser dari landasan nilainya.
3.
Komitmen dan
sumber kebijaksanaan dan progam yang ada menghalangi pembuat kebijaksanaan dari
usaha mempertimbangkan alternatif-alternatif baru dan kreatif karena
keputusan-keputusan sebelumnya sudah membatasi atau menutup pilihan-pilihan
sekarang.
4.
Waktu dan usaha
yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi yang relevan pada semua alternatif
yang mungkin begitu memakan biaya sehingga mengurangi hasrat mengumpulkan
informasi baru
5.
Pembuat dan
analisis kebijaksanaan seringkali tidak dapat meramalkan semjua akibat positif
dan negatif dan setiap alternatif kebijaksanaan, hal ini cenderung menghasilkan
pilihan arah tindakan yang hanya sedikit berbeda dari status quo.
Analisis
kebijakan juga bersifat normatif dan menciptakan atau melakukan kritik terhadap
klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa
kini dan masa mendatang.
Analisis konsep
karakteristik kebijakan dilihat dari sudut kelayakan (feasibility) antara lain:
a.
Feasibilitas
politik
b.
Feasibilitas
teknik
c.
Feasbilitas
personal
Bentuk-bentuk
analisis kebijakan menurut Dunn (1981:51-54) adalah; “prospektive policy
analysis” yaitu kebijakan berupa produksi dan transformasi, sebelum
diimplementasikan cenderung mencari cara beroperasinya para ekonom, analisis
sistem. “Retrospective policy analysis” yaitu sebagai peenciptaan dan
transfomasi sesudah aksi kebijakan itu dimulai, mencakup pada tiga tipe
kegiatan ; (1) analis yang berorientasi padadisiplin, (2) analis yang
berorientasi pada masalah, (3) analis yang berorientasi pada aplikasi, “Intergrated
policy analysis” yaitu analisi yang mengkombinasikan gaya oprasi pada
praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi
sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.
SWOT adalah suatu analisis kebijakan yang diambil berdasarkan kekuatan
(strenghtness) yaitu melihat apa saja hal-hal yang menjadi kekuatan
sebagai modal yang dapat diandalkan, kelemahan (weakness) yaitu melihat
hal-hal yang dipandang menjadi kelemahan sehingga dapat ditentukan prioritas
untuk mengatasi kelemahan tersebut, peluang (opportunuties) yaitu
peluang apa saja yang mampu diraih untuk mengatasi kelemahan dan dapat
mendukung kekuatan, dan tantangan atau ancaman (treaths) yaitu hal-hal
yang dapat dijadikan tantangan baik dilihat dari hal yang positif maupun
negatif sehingga dijadikan sebagai pemicu meningkatkan prestasi suatu
organisasi untuk mencapai tujuan.
Quadran SWOT
Eksternal
INTERNAL
|
O= Peluang (opportunity)
|
T= Tantangan (treaths)
|
S= kekuatan (strenghtness)
|
SO= (max-max) yaitu strategi yang mampu memanfaatkan
secara maksimal (S) dan (O)
|
ST= (max-min) yaitu strategi yang mampu memanfaatkan
secara maksimal (S) dan untuk meminimalkan (T)
|
W= kelemahan (weakness)
|
WO= (mini-max) yaitu strategi yang mengurangi W untuk
mampu memanfaatkan secara maksimal (O)
|
WT= (mini-mini) mengurangi kelemahan internal W dan
mengurangi T (Eksternal)
|
1. Objek
Studi Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis
kebijakan pendidikan dilakukan secara komperhensif, yang mencakup rumusan,
implementasi dan dampak kebijakan, tetapi fokusnya pada implementasi kebijakan.
Proses analisis sebetulnya harus beranjak dari kajian terhadap rumusan
kebijakan apakah yang menjadiboundary sisyem. Analisis terhadap
kondisi implementasi dari setiap rumusan kebijakan merujuk gambaran ideal
pelaksanaan kebijakan pada semua tingkatan pelaku kebijakan sebagaimana
tertuang dalam rumusan kebijakannya.Kemudian, permasalahan-permasalahan yang
muncul dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan tersebut, dikaji sampai
ditemukannya faktor-faktor yang menyebabkan hambatan, halangan, gangguan dalam
mengimplementasikan kebijakan yang dimaksud.Analisis selanjutnya diarahkan pada
kajian pada implikasi-implikasi keilmuan untuk membangun paradigm baru dalam
konsep dan teori kebijakan pendidikan.Pada tahapan ini, kebijakan dimaksudkan
untuk menemukan konsep-konsep dalam rangka profesionalisasi manajemen
pendidikan.
Implikasi
terhadap proses manajemen pendidikan, berkenaan dengan perangkat operasional
system manajemen yang menyangkut proses-proses operasional organisasi dan
kepemimpinan. Bila dikaitkan dengan substansi pendidikan sebagaimana
digambarkan di muka, maka alasan-alasan mengapa kebijakan pendidikan memerlukan
proses analisis terhadap organisasi dan kepemimpinan, yaitu :
1. Wawasan
tentang kependidikan dan komponen-komponen yang tidak terdapat dalam substansi
sistem manapun kecuali dalam sistem pendidikan.
2. Manajemen
pendidikan memfokuskan perhatian pada proses mengembangkan potensi peserta
didik secara optimal, dan berperan sebagai wahana penyediaan kemudahan
(fasilitas) bagi kepentingan proses tersebut.
3. Sistem
pendidikan memiliki komponen bukan manusia yang khas berupa kurikulum
(materi/bahan , metodologi/teknologi pendidikan, media dan sumber belajar media
serta alat/sarana pendidikan)
4. Efesiensi-efektivitas
dan produktivitas pengelolaan kegiatannya memperhatikan martabat manusia.
Untuk
menilai layak-tidaknya suatu kebijakan, harus dilihat dari ukuran-ukuran
berikut :
1. Dari
aspek formulasi kebijakan pendidikan ialah : (a) filsafat pendidikan yang
dipakai dasar penyelenggaraan pendidikan; (b) teori dan ilmu yang dipakai
rujukan untuk setiap komponen pendidikan; (c) sistem nilai yang dijadikan dalam
pengembangan asumsi-asumsi yang melandasi praktik-praktik pendidikan.
2. Pada
tatanan implementasi kebijakan ialah : (a) prioritas permasalahan pada setiap
aspek substansi pendidikan; (b) pendekatan proses dan prosedur implementasi
yang digunakan; (c) peranan-peranan pelaku kebijakan dari policy maker, organizational level dan operational level ; (d) setting
lingkungan yang sangat memungkinkan berpengaruh terhadap keseluruhan aspek
kebijakan, baik pada saat proses perumusan, implementasi maupun lingkungan itu
sendiri.
3. Pada
tatanan evaluasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan norma, alat ukur dan
prosedur yang digunakan. Terutama terhadap aspek ; (a) dampak terhadap
efisiensi penggunaan sumber daya; (b) kemanjurannya terhadap pencapaian target and means; (c) akuntabilitas para
pelaku kebijakan pada pelaku kebijakan pada semua tingkatan.
H.
Kebijakan
Pemerintah Mengenai Otonomi Pendidikan
1.
Arah kebijakan
pendidikan nasional
Kebijakan pendidikan dapat dihimpun atau dikelompokkan pada empat
kelompok yaitu : pertama, kebijakan yang berkenaan dengan fungsi
essensial lembaga pendidikan terutama dalam hubungannya dengan kurikulum,
penetapan tujuan, rekruitmen tenaga kependidikan, penerimaan siswa atau
mahasiswa dan sebagainya. Kedua, kebijakan mengenai lembaga yang didalamnya
ada faktor-faktor individual dan keseluruhan sistem kependidikan atau bagian
dari lembaga pendidikan itu. Ketiga, kebijakan yang berkaitan dengan
penerimaan dan penaqrikan tenaga kerja, promosi, pengawasan, dan penggantian
seluruh staf. Keempat, kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian
sumber finansial, gedung dan perlengkapan sebagai pendukung utama
terselenggaranya progam pendidikan khususnya pembelajaran.
a.
Reinventing
organisasi pendidikan
Sebagai upaya penataan kembali struktur
organisasi pemerintahan dan implementasi kebijakan otonomi daerah sesuai UU
No.22 tahun 1999, maka sebagai implementasinya UU tersebut telah diintegrasikan
kantor (Depdiknas) dengan dinas pendidikan dan kebudayaan (dinas p&k)
diprovinsi dan kabupaten/kota menjadi dinas pendidikan. Dalam hal ini perangkat
daerah ditata kembali (reinveting) atau disegarkan kembali sesuai UU untuk
kelancaran penyelenggaraan progam pendidikan.
b.
Progam
sinkronisasi dan koordinasi pembangunan pendidikan nasional
Progam ini bertujuan untuk meningkatkan
sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
pengawasan progam-progam pendidikan mulai dari Depdiknas, pemprov, pemkab dan
satuan pendidik baik antar jenjang, jalur dan jenis pendidikan maupun antar
daerah. Sasarannya adalah mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui
kegiatan pembelajaran o0leh satuan pendidikan.
I.
Kebijakan
Penganggaran Pendidikan Pada Kabupaten/Kota
Gambar : mekanisme penentuan anggaran pendidikan kabupaten
J.
Metodologi
Studi Kebijakan Pendidikan
Untuk menetukan pilihan metodologi mana yang paling
relevan dalam studi kebijakan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan
terhadap tujuan kebijakan, yaitu:
1. Tujuan
Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan
kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakikat
tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses
penyempurnaan harkat dan martabat manusia yan di upayakan secara terus-menerus.
2. Tujuan
Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Politisi
Tujuan
kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan
pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan social yang
berbeda.Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik
untuk mengembangkan sikap dan ketrampilan kewarganegaraan yang positif untuk
melatih warga Negara yang benar dan bertanggung jawab.
3. Tujuan
Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Ekonomi
Tujuan
kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi, dapat ditelusuri dari kesadaran
pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan ditelaah berkaitan dengan wilayah etika
dan kenyataan tindakan pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan peserta
didik. Juga kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil
perumusan langkah-langkah strategic.
Selain itu kebijakan pendidikan juga
di bedakan menjadi kebijakan pendidikan Nasional dan Daerah, juga Kebijakan
pendidikan Umum, Khusus. Semua itu diatur melalui lembaga pendidikan yang
bersangkutan, dan tidak hanya Menteri Pendidikan yang berkewenangan.
Daftar
pustaka
Irianto, yoyon bahtiar. 2012. Kebijakan pembaruan pendidikan (konsep, teori dan model). Jakarta:
PT rajagrafindo persada.
Rawita,
Ino Sutisno. 2013. Kebijakan Pendidikan., Solo : Kurnia
Kalam Semesta.
Sagala,
syaiful. 2009. Administrasi pendidikan
kontemporer. Bandung : alfabeta.
[1] Ino Sutisno Rawita, Kebijakan Pendidikan, Kurnia Kalam
Semesta, Solo, 2013, hlm 25.
[2] Ino Sutisno Rawita, Ibid, hlm 27-28, 31-34.
[3] Ino Sutisno Rawita, Ibid, hlm 50-55.
[4] Ino Sutisno Rawita, Ibid, hlm
65-67.
[5] Ino Sutisno Rawita, Ibid, hlm
120, 128.
[6] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm 31-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar